News

Elegi Pulau-pulau yang Hilang dari Peta Nusantara

Penulis - Staff | 23 September 2025
Ilustrasi - Indonesia dan Negera Kepualauan (Foto: Freepik/AI Generated)

Di tepian Nusantara, di mana laut bertaut dengan langit, terhampar pulau-pulau kecil yang seharusnya menjadi penjaga kedaulatan bangsa. Mereka adalah titik-titik perbatasan, mercusuar identitas, dan saksi bisu sejarah panjang kepulauan ini.

Namun, dalam diamnya ombak dan bisik angin, sebuah tragedi filosofis-historis terungkap, bahwa pulau-pulau ini, yang seharusnya menjadi lambang keabadian tanah air, kini merana, dikhianati, bahkan lenyap dari peta.

Dalam catatan perjalanan ini, kami menelusuri ironi yang menyayat, di mana anak-anak negeri, dengan tangan mereka sendiri, menjual warisan leluhur demi sesaat keuntungan.

Sejarah mencatat bahwa kepulauan Nusantara pernah menjadi rebutan imperium kolonial karena rempah dan lautnya yang kaya. Kini, di abad ke-21, pertarungan itu berganti wajah: bukan lagi pedang dan meriam, melainkan transaksi gelap yang menggerus pasir, air, dan martabat pulau-pulau terluar.

Data dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) hingga 2023 menunjukkan bahwa Indonesia memiliki 17.504 pulau, namun hanya 16.056 yang terdaftar resmi di Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Sisanya? Sebagian hilang, tak bernama, atau terabaikan. Lebih memilukan, laporan Badan Informasi Geospasial (BIG) pada 2022 mencatat setidaknya 115 pulau kecil terluar berisiko tinggi terhadap eksploitasi ilegal, mulai dari penambangan pasir hingga penjualan lahan.

Salah satu elegi terpahit datang dari Pulau Sebaik, Kepulauan Riau. Pulau ini nyaris rata dengan laut karena pasirnya dikeduk secara ilegal dan diekspor ke Singapura.

Menurut laporan Greenpeace Asia Tenggara (2021), praktik penambangan pasir ilegal ini telah menyebabkan hilangnya setidaknya tiga pulau kecil di Kepulauan Riau sejak 2005, dengan volume pasir yang diekspor mencapai 1,2 miliar meter kubik dalam dua dekade terakhir. 

Singapura, dengan ambisi reklamasi pantainya, kini menjorok lebih jauh ke perairan Indonesia, sementara pulau-pulau kita tenggelam. Siapa pelakunya?

Ironisnya, sebagian besar adalah perusahaan lokal yang bekerja sama dengan oknum pejabat, menurut temuan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 2020, yang mengungkap keterlibatan pejabat daerah dalam izin penambangan ilegal.

Limbah dan pengkhianatan
Filosofi tanah air mengajarkan bahwa bumi adalah ibu yang menyokong kehidupan. Namun, di Pulau Galang Baru, Kepulauan Riau, tanah ini justru menjadi tempat pembuangan limbah berbahaya.

Pada 2019, Badan Pengawas Lingkungan Hidup (BPLHD) Riau melaporkan bahwa 1.762 kantung limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) seberat 1.149,4 ton dari Singapura telah dibuang di pulau ini.

Limbah yang diklaim sebagai “media tanam” oleh pihak Singapura terbukti mengandung zat beracun yang dapat mencemari air tanah dan membahayakan kesehatan masyarakat. Perusahaan Indonesia, PT APEL, diduga menjadi aktor utama di balik impor limbah ini.

Pertanyaan yang menggantung: jika limbah ini benar-benar “kompos,” mengapa Singapura tidak memanfaatkannya untuk lahan mereka sendiri yang terbatas?

Kasus ini bukan sekadar pelanggaran lingkungan, melainkan pengkhianatan terhadap esensi tanah air. Dalam perspektif filosofis, pulau adalah titik sakral yang menghubungkan manusia dengan alam dan sejarah.

Membiarkan limbah asing mencemari tanah leluhur adalah pengingkaran terhadap kewajiban moral untuk menjaga warisan. Di ujung timur Indonesia, Pulau Tatawa di Nusa Tenggara Timur menyimpan taman bawah laut yang memesona.

Namun, desas-desus penjualan pulau ini kepada pihak asing, sebagaimana dilaporkan media lokal pada 2023, mencerminkan bagaimana kapitalisme telah menggerus nilai-nilai kedaulatan.

Begitu pula dengan Pulau Bawah di Natuna, yang kini bertransformasi menjadi resor mewah untuk turis asing, sementara nelayan lokal dari Kepulauan Anambas diusir dari perairan leluhur mereka.

Data dari Kementerian Pariwisata (2024) menunjukkan bahwa setidaknya 12 pulau kecil di Indonesia telah dialihfungsikan menjadi resor swasta dengan investasi asing, sering kali tanpa transparansi izin.

Di Karimun Jawa, Jawa Tengah, tujuh pulau—Bengkoang, Geleang, Kembar, Kumbang, Katang, Krakal Kecil, dan Krakal Besar—dilaporkan telah dijual kepada pengusaha Inggris, menurut investigasi media nasional pada 2022.

Transaksi ini, meski sering dibungkus sebagai “sewa jangka panjang,” mengaburkan batas antara investasi dan penjualan. Dalam kerangka historis, ini mengingatkan kita pada era kolonial ketika tanah-tanah Nusantara diperdagangkan demi keuntungan segelintir elit.

Bedanya, kini pelakunya adalah anak bangsa sendiri.

Kuburan bisu dan klaim asing
Di perbatasan Nusa Tenggara Timur, sebuah pulau pasir kecil dekat Kabupaten Rote-Ndao menjadi saksi bisu perebutan kedaulatan. Australia mengklaim pulau ini, meski kuburan nenek moyang orang Rote berdiri tegak sebagai penanda kepemilikan.

Dalam filsafat Heidegger, keberadaan (Das Sein) manusia terhubung erat dengan tempat dan sejarahnya. Kuburan-kuburan ini bukan sekadar tumpukan batu; mereka adalah narasi eksistensi sebuah bangsa. Namun, ketika pulau-pulau kecil ini diklaim atau dijual, narasi itu pun terputus.

Tragedi pulau-pulau terluar ini bukan sekadar soal kehilangan wilayah, melainkan kehilangan makna. Dalam pandangan filosofis, tanah adalah cerminan identitas kolektif, tempat di mana sejarah, budaya, dan masa depan bertemu.

Ketika pulau-pulau ini lenyap—baik karena pasirnya dikeduk, airnya disedot, atau lahannya dijual—kita kehilangan bagian dari jiwa bangsa.

Data-driven modern menunjukkan skala kerusakan: laporan KKP (2023) menyebutkan bahwa 23% pulau kecil terluar Indonesia terancam hilang akibat eksploitasi dan perubahan iklim.

Namun, di balik angka-angka itu, ada pertanyaan eksistensial: apakah kita, sebagai bangsa, masih mampu menjaga amanah leluhur?

Catatan perjalanan ini bukan sekadar jeritan atas pulau-pulau yang hilang, melainkan panggilan untuk merenung. Jika dulu Nusantara dipersatukan oleh semangat melawan penjajah, kini tantangannya adalah melawan diri sendiri—melawan keserakahan, korupsi, dan ketidakpedulian.

Pulau-pulau kecil itu bukan sekadar titik di peta; mereka adalah detak jantung bangsa. Akankah kita membiarkan detak itu berhenti, atau bangkit untuk menjaga apa yang tersisa?

Editor : Editor Kontemporer
Editor Picks