Focus

Bangga Menjadi Indonesia, Tetapi Sampai Di Mana?

Penulis - Staff | 9 September 2025
Ilustrasi: Bendera Indonesia di pedesaan/Freepik (generated by ai)

Coba sejenak berhenti menggugat kurikulum sekolah yang katanya gagal menanamkan semangat kebangsaan. Jangan dulu menyalahkan Wawasan Nusantara, Pendidikan Moral Pancasila, atau apa pun nama pelajaran itu sekarang.

Sebelum kita tunjukkan jari keluar, bagaimana kalau kita tanya dulu ke dalam: “Aku ini bangga nggak sih jadi orang Indonesia?”

Pertanyaan sederhana, tapi jawabannya tak selalu mudah. Karena bangga bukan soal jargon. Bukan juga urusan bendera dan lagu kebangsaan semata. Bangga itu tindakan. Ia terasa ketika hati kita bergetar tanpa diminta.

Masih ingat Susi Susanti di Olimpiade Barcelona 1992? Saat Merah Putih pertama kali naik di panggung dunia dan lagu Indonesia Raya mengalun di tengah bangsa-bangsa lain, ia menangis.

Dan kita, walau hanya nonton lewat televisi, ikut merinding. Ada sesuatu yang tumbuh di dada. Seperti bisikan halus: “Ini negaraku. Aku bangga jadi bagian dari bangsa ini.”

Atau coba lihat anak-anak Indonesia yang menang olimpiade sains, dari matematika sampai fisika. Lihat mata mereka ketika bendera Indonesia dikibarkan.

Tak ada teori nasionalisme yang bisa menjelaskan perasaan itu. Tapi kita tahu: mereka sedang membawa pulang lebih dari medali. Mereka membawa bukti bahwa Indonesia bisa.

Tetapi apakah rasa bangga hanya muncul ketika ada seremoni besar, atau ketika kamera menyorot? Bagaimana dengan kita yang hidup biasa-biasa saja? Haruskah jadi atlet atau ilmuwan jenius dulu baru boleh merasa cinta Tanah Air?

Jawabannya: tidak.

Menjadi Indonesia itu bisa dimulai dari hal-hal kecil. Dari yang paling dekat. Dari tindakan-tindakan sehari-hari yang mungkin tak kita sadari sebagai wujud kebangsaan.

Misalnya, tidak buang sampah sembarangan. Tidak menyerobot antrean. Tidak nyogok polisi. Tidak mengambil uang negara walau ada kesempatan. Tidak korupsi waktu di kantor. Tidak memperlakukan minoritas sebagai musuh. Tidak menganggap gotong royong hanya mitos masa lalu.

Sayangnya, kita sering gagal melihat bahwa tindakan-tindakan kecil itulah yang justru menentukan arah besar bangsa ini.

Dalam otonomi daerah, misalnya, kebanggaan sebagai bangsa sering tergerus oleh fanatisme sempit. Ada yang lebih bangga pada provinsinya daripada pada negaranya.

Kadang lebih cinta pada partainya daripada pada bangsanya. Padahal, bangsa ini tak akan utuh tanpa setiap bagian bekerja sama, bukan saling menyikut.

Lihat juga bagaimana budaya kita ditarik-tarik oleh algoritma. Anak-anak sekarang lebih kenal TikTok ketimbang Taman Mini. Mereka bisa hafal nama seleb Korea, tapi tak tahu siapa Mohammad Yamin.

Kita tidak anti globalisasi, tentu. Tapi kalau segala yang datang dari luar ditelan tanpa saring, lalu ke mana identitas kita?

Pendidikan kebangsaan bukan soal berapa butir Pancasila yang dihapal. Tapi seberapa jauh Pancasila hidup dalam tindakan kita.

Seorang sopir ojek online yang jujur dan menolak pesanan fiktif, bisa jadi lebih “nasionalis” dibanding pejabat yang tiap hari bicara ideologi tapi hobi memperkaya diri.

Erich Fromm pernah bilang, mencintai itu soal memberi dan merawat. Bukan sekadar tahu. Maka mencintai Indonesia juga bukan soal tahu isi UUD 1945 dari pasal ke pasal, tapi soal peduli pada hidup sehari-hari bangsa ini.

Tulisan ini bukan ceramah. Bukan juga tuntutan moral. Ini cuma ajakan untuk kembali bertanya: “Sudahkah aku bertindak sebagai warga negara yang mencintai tanah airnya?” Tak perlu jawaban muluk. Kadang cukup kita jujur pada diri sendiri.

Karena kebangsaan itu bukan proyek besar negara semata. Ia tumbuh dalam tindakan kecil, dalam ruang sunyi, dan dalam keputusan-keputusan pribadi yang tak selalu terlihat. Tapi percayalah, dari situlah bangsa ini akan bertahan.

Mari kita mulai dari satu pertanyaan paling jujur: “Apa yang sudah saya lakukan untuk Indonesia hari ini?”

Editor : Editor Kontemporer
Editor Picks