Terluar, Tetapi Bukan Berarti Pulau Liar
Ibarat sebuah pulau kosong tak bertuan, pulau-pulau terluar dibiarkan merana, sekadar menjadi surga buat perdu dan rerumputan liar, meski menyimpan potensi keindahan tak terkira berupa pasir putih di sekelilingnya.
Masih lebih baik bila dipakai menggembalakan kambing atau sapi sebagai pertanda pulau itu ada pemiliknya. Bayangkan, kambing atau sapi sebagai penanda NKRI. Bukan main. Pulau terluar, meski belum bernama dan tidak terurus, mulai sekarang harus sudah diurus!
Lepasnya Sipadan dan Ligitan pada awal 2000-an adalah cambuk sejarah. Dua pulau mungil di ujung Kalimantan itu tak sekadar hilang dari peta, tetapi juga menyentil nurani kebangsaan.
Mereka tidak hilang karena direbut secara brutal, melainkan karena kita lalai menjaga, abai memelihara, dan tidak hadir saat mereka butuh pengakuan. Dalam peradilan internasional, Malaysia menang bukan karena kekuatan sejarah, tetapi karena kedisiplinan mereka merawat dan memberi makna pada dua titik sunyi itu.
Lantas, bukankah ini menjadi refleksi yang menyakitkan? Bahwa dalam dunia modern, cinta pada tanah air bukan lagi soal darah dan air mata, melainkan soal kehadiran, keberlanjutan, dan pengelolaan yang bijak. Pulau, seperti manusia, memerlukan nama, identitas, dan perawatan.
Menurut data resmi terakhir, Indonesia memiliki 17.504 pulau, tetapi lebih dari 6.700 di antaranya belum memiliki nama. Ini bukan hanya soal statistik geografis, melainkan krisis eksistensial dalam skala nasional.
Apa arti sebuah nama? Shakespeare pernah bertanya demikian. Namun dalam konteks geopolitik modern, nama adalah identitas, klaim, dan pernyataan eksistensi. Sebuah pulau tanpa nama ibarat anak yang lahir tanpa akta kelahiran—rentan diambil, disalahpahami, bahkan dilupakan.
Tercatat 92 pulau terluar. Sebanyak 67 pulau di antaranya bisa menjadi sengketa dengan negara lain dan 12 pulau dari jumlah itu rawan diambil negara lain. Tentu saja Pulau Miangas dan Natuna dua di antaranya.
Data menyebutkan, Kepulauan Riau yang memiliki 2.408 pulau, 394 pulau belum bernama; Irian Jaya Barat dengan 1.917 pulau 968 pulau belum bernama; Maluku Utara dengan 1.525 pulau 897 pulau belum bernama; Maluku dengan 1.399 pulau 631 pulau belum bernama; Nusa Tenggara Timur dengan 1.192 pulau 685 pulau belum bernama); dan Kepulauan Bangka Belitung dengan 950 pulau 639 pulau belum bernama.
Itu bukan angka, itu potensi konflik masa depan. Itu alarm sunyi yang meminta perhatian kita sekarang juga.
Badan Informasi Geospasial dan Kementerian Kelautan dan Perikanan telah berupaya memberi nama pulau-pulau itu, tetapi jumlahnya masih terlalu besar untuk diselesaikan dalam waktu singkat.
Apalagi sebagian besar dari mereka terletak di garis perbatasan, berbatasan langsung dengan 11 negara tetangga, dan menjadi sasaran empuk konflik klaim jika tak segera diperjelas statusnya.
Pemerintah harus menyediakan dana untuk sekadar menandai pulau-pulau terluar milik NKRI ini. Apa susahnya menancapkan kayu atau tiang bendera, mendirikan mercu suar, atau membangun tugu peringatan (prasasti) yang menandakan bahwa pulau-pulau kosong tak bernama itu milik NKRI.
Kalau bingung bikin nama saat mendirikan papan nama, “ngasal” saja boleh deh untuk memberi nama itu…. yang penting berbau dan bermakna, dalam bahasa daerah setempat atau bahasa Indonesia.
Ingat sesuai United Nation Convention on Law of the Sea atau Unclos 1982, Indonesia diakui sebagai negara kepulauan yang dengan sendirinya pemerintah berkewajiban menamai, menandai, dan memelihara keseluruh pulau itu.
Secara filosofis, pulau adalah metafora dari manusia yang terpinggirkan: ia ada, tetapi tak dianggap. Pulau-pulau ini mewakili mereka yang tinggal di pinggiran republik—di batas, di pelosok, di tepian.
Mereka tak terlibat dalam narasi besar pembangunan, tapi mereka menyangga keutuhan negeri. Kita bisa kehilangan Jakarta karena banjir, tapi kita bisa kehilangan Indonesia karena satu pulau kecil tak bertuan.
Secara sosiologis, pulau-pulau ini sering menjadi ruang hidup komunitas kecil yang terjaga nilai-nilainya. Mereka hidup dari laut, mengakrabi angin, dan menatap bintang sebagai penunjuk arah.
Sayangnya, mereka jarang disapa negara. Infrastruktur terbatas, pendidikan dan kesehatan minimal, dan kehadiran simbol negara nyaris nihil. Bila tiang bendera pun tak ada, bagaimana pulau itu bisa berkata "Aku bagian dari Indonesia"?
Kita tak perlu membangun hotel atau bandara di sana untuk mengklaim. Cukuplah sebuah prasasti, mercu suar, atau tiang bendera yang tegak berdiri, mengatakan bahwa negeri ini hadir dan peduli.
Bila perlu, jadikan program penamaan pulau sebagai bagian dari kurikulum pendidikan kewarganegaraan. Libatkan anak-anak muda, para pendidik, dan warga lokal untuk merumuskan nama berdasarkan sejarah, budaya, dan bahasa lokal. Sebab, ketika pulau diberi nama, ia tidak hanya memiliki identitas, tetapi juga martabat.
Kita harus belajar dari masa lalu. Jangan sampai kita hanya bisa menyanyikan "Tanah Airku tidak kulupakan" saat pulau-pulau itu sudah diambil, dirawat, dan dinamai oleh negara lain.
Jangan sampai kita baru sadar pentingnya sebuah pulau setelah ia tak lagi menjadi bagian dari negeri ini. Karena sejatinya, pulau terluar bukanlah pulau liar. Ia hanya menanti untuk disapa, dinamai, dan dirawat sebagai bagian dari rumah besar bernama Indonesia.
| Editor | : | Editor Kontemporer |