Focus

Tanda “EK” di KTP, Menata Ingatan Sosial atas Dosa Publik

Penulis - Staff | 16 September 2025
Ilustrasi-KTP/Dukcapil

Dalam peradaban yang sehat, kejahatan terhadap masyarakat luas bukan sekadar pelanggaran hukum, melainkan luka kolektif yang merongrong sendi-sendi kepercayaan sosial.

Di antara segala bentuk kriminalitas, korupsi—yakni pencurian dari kantong rakyat melalui jabatan dan kuasa—adalah kejahatan yang paling subtil sekaligus paling sistemik.

Ia tidak hanya mencederai hukum, tapi juga menggerogoti moral bangsa dan menyingkirkan keadilan sosial dari ruang publik.

Jika kita sepakat bahwa korupsi adalah pengkhianatan terhadap masa depan bersama, maka hukuman atas koruptor seharusnya tidak hanya bersifat pidana, melainkan juga sosial, kultural, dan bahkan simbolik.

Di banyak negara, koruptor tidak diberi ruang untuk kembali berjalan dalam arak-arakan kekuasaan atau menjadi inspirasi publik. Di Tiongkok dan beberapa negara Asia lainnya, korupsi berat bisa berujung hukuman mati. Tapi bagaimana dengan Indonesia?

Indonesia, sebagaimana diungkap Transparency International dalam Indeks Persepsi Korupsi (IPK) 2024, masih bertengger di angka 34 dari skala 100, jauh dari ideal. Meski ada penegakan hukum oleh KPK, masih banyak yang lolos dari jerat etik dan publikasi sosial.

Lebih ironis lagi, tak sedikit dari para koruptor yang setelah menjalani hukuman penjara, kembali hidup makmur dengan harta yang nyaris utuh: properti menjulang, deposito berbunga terus, dan aset yang dikelola keluarga selama mereka di balik jeruji. Bahkan ada yang kembali nyaleg, duduk di kursi strategis, atau menjadi “pengusaha dermawan”.

Lalu ke mana rasa malu itu pergi? Mengapa tak ada bekas luka yang ditinggalkan oleh perbuatan besar yang menyengsarakan berjuta jiwa?

Belajar dari sejarah
Pada masa Orde Baru, kita mengenal apa yang disebut dengan stigma administratif. Warga negara yang dituduh atau dicurigai sebagai bagian dari Partai Komunis Indonesia (PKI) diberi cap “ET” atau Eks Tapol di Kartu Tanda Penduduknya.

Di Tasikmalaya ada seorang wanita tua yang mengalami penderitaan panjang akibat dua huruf kecil itu di KTP-nya.

Ia bukan pelaku kekerasan, bukan penyusun kudeta, hanya istri dari seseorang yang pernah menghadiri rapat yang kemudian dicurigai sebagai bagian dari gerakan terlarang.

Tapi efek dua huruf itu sangat nyata: ia kehilangan hak-hak sipil, anaknya tak bisa menjadi pegawai negeri, dan ia menjadi warga kelas dua selama hidupnya.

Tentu, praktik seperti itu patut dikritisi secara HAM dan keadilan substantif. Tapi pertanyaan pentingnya adalah: Mengapa justru koruptor, yang secara sah divonis merampok uang rakyat, tidak pernah diberi jejak sosial yang nyata?

Pertanyaanya, bolehkah kita memberi tanda “EK” di KTP bagi para eks koruptor? Mungkin bukan sebagai bentuk balas dendam, tapi sebagai pengingat publik dan bentuk tanggung jawab sosial yang tidak berhenti di batas penjara.

Dalam ilmu sosiologi, khususnya dalam pemikiran Emile Durkheim, kejahatan bukan hanya soal pelanggaran terhadap norma hukum, tapi juga indikasi bahwa masyarakat perlu memperbarui norma-normanya.

Hukuman, dalam kacamata Durkheim, bukan semata soal pembalasan, tetapi ritus kolektif untuk menegaskan kembali nilai-nilai bersama.

Tanda “EK” dapat dilihat sebagai simbol kolektif bahwa bangsa ini tidak melupakan. Bahwa kejahatan kepada rakyat bukan sekadar kesalahan personal yang bisa ditebus dengan waktu, tapi luka sosial yang perlu diingat agar tidak berulang.

Ini bukan tentang mempermalukan, tapi menciptakan ruang kesadaran bahwa kepercayaan publik bukan hak otomatis, tapi hasil dari rekam jejak dan tanggung jawab.

Kebijakan sosial di negara lain
Beberapa negara punya pendekatan serupa dalam bentuk berbeda. Di Amerika Serikat, misalnya, narapidana yang bebas dari kasus seksual harus mendaftar sebagai sex offender dan datanya bisa diakses publik.

Di Inggris, sistem Disclosure and Barring Service memungkinkan lembaga mengetahui latar belakang kriminal seseorang sebelum direkrut untuk posisi strategis.

Di Indonesia, regulasi pemilu sempat menyatakan bahwa eks koruptor dilarang maju sebagai calon legislatif, tapi Mahkamah Konstitusi kemudian membatalkan larangan itu.

Akibatnya, pada Pemilu 2024, setidaknya 52 mantan napi korupsi kembali mencalonkan diri, dan beberapa di antaranya terpilih. Inilah indikasi bahwa kita gagal menanamkan rasa malu sebagai perangkat etik dalam demokrasi.

Penerapan tanda “EK” tentu harus melalui mekanisme hukum yang adil dan proporsional. Penanda ini tidak boleh berlaku seumur hidup, dan harus dibatasi pada konteks tertentu—misalnya lima atau sepuluh tahun setelah bebas.

Di sisi lain, korupsi adalah kejahatan yang berlevel sistemik dan multidimensi: efeknya tidak hanya merugikan negara, tetapi juga memperdalam kemiskinan, memperparah ketimpangan, dan menghancurkan kepercayaan terhadap negara.

Korupsi membuat rumah sakit kekurangan obat, sekolah rusak tak diperbaiki, dan proyek air bersih mangkrak. Dengan kata lain: korupsi membunuh perlahan.

Maka jika seorang pembunuh bisa dikenai penjara seumur hidup, mengapa seorang koruptor tak bisa dikenai pengingat sosial yang adil?

Dua pilihan
Mari kita ajukan satu pertanyaan eksistensial kepada para koruptor: pilih mati, atau hidup dengan tanda “EK” di KTP-mu?

Sebagian besar mungkin memilih tanda itu. Tapi bayangkan jika setiap kali membuka akun bank, mengurus dokumen negara, atau membeli properti, mereka diingatkan oleh dua huruf yang tidak bisa dibeli dengan uang: “EK”.

Maka tanda itu menjadi pelajaran bahwa kekuasaan itu amanah, bukan jalan menuju perampokan berjamaah.

Dalam masyarakat yang ingin bangkit, lupa adalah kemewahan yang berbahaya. Tanda “EK” bukan untuk menghakimi seumur hidup, tapi untuk membentuk sejarah keadaban.

Sebab kita ingin bangsa ini maju, bukan hanya dengan gedung-gedung tinggi dan jalan tol yang megah, tapi juga dengan kesadaran bahwa kejujuran adalah infrastruktur moral yang paling mahal.

Editor : Editor Kontemporer
Editor Picks