Voices

Semakin Besar Harta, Semakin Besar Rasa Takut kehilangannya

Penulis - Pep | 16 September 2025
Ilustrasi- Bergelimang harta (Getty Images/iStockphoto/Moussa81)

Kita sering mendengar pepatah lama, “Harta tidak dibawa mati.” Sebuah peringatan sederhana namun tajam, ditujukan bagi mereka yang terlampau terikat pada kekayaan duniawi. Namun, seorang tetangga saya pernah melontarkan versi yang lebih membumi dan tak kalah menggugah: “Harta tidak bisa dibawa tidur.”

Sekilas, kalimat itu mungkin terdengar jenaka. Namun, semakin saya renungkan, semakin terasa maknanya. Cobalah pikirkan: apakah mobil mewah, rumah megah, atau koleksi jam tangan mahal Anda tetap berarti saat Anda terlelap?

Tidur adalah momen di mana semua kepemilikan materi kehilangan relevansinya. Saat kesadaran padam, semua yang Anda miliki seolah lenyap.

Filsuf Stoik Seneca pernah menulis, “Orang yang benar-benar kaya adalah mereka yang tidak tergantung pada kekayaannya.” Dalam tidur, kita semua setara: konglomerat, buruh, pejabat, bahkan koruptor sekalipun, sama-sama tak mampu membawa kekayaannya ke alam mimpi.

Saya tercenung memahami dan mencerna kalimat ini. Dan ketika dipikir lebih dalam, terkandung kebenaranan di dalamnya.

Coba saja, kamu punya mobil baru, punya uang segudang, punya sepatu bagus dan mahal, bahkan punya istri cantik atau suami ciamik, semua menjadi hilang, tak ternikmati, tidak membekas, dan tidak berarti apa-apa kala Anda terlelap tidur. Harta memang tidak dibawa tidur, bukan?

Kalimat “harta tidak dibawa tidur” sungguh menyadarkan saya pribadi: jangan terlalu mencintai harta secara berlebihan sehingga kemudian terkungkung ketakutan.

Andai saya punya Ferrari dan kapal pesiar mewah yang harganya bisa mencapai puluhan miliar rupiah, semua harta itu akan “menghilang” dari ingatan ketika kita sedang terlelap, bahkan sejenak saja. Apalagi tidur betulan, kemudian tidur panjang kelak.

Ironisnya, di dunia yang semakin materialistis, kekayaan sering kali menjadi penjara. Semakin besar harta seseorang, semakin besar pula rasa takut kehilangannya.

Data dari Global Wealth Report 2024 menunjukkan bahwa 1% orang terkaya dunia menguasai hampir 47% kekayaan global. Namun, laporan yang sama juga mengungkap bahwa kelompok ini justru memiliki tingkat kecemasan tertinggi, terutama terkait kehilangan harta atau status.

Ketakutan ini menciptakan perilaku-perilaku ekstrem: proteksi berlebihan, investasi membabi buta, hingga tindak kriminal seperti korupsi. Semua demi mempertahankan ilusi kekuasaan yang sebenarnya rapuh. Dalam banyak kasus, harta justru menjadi beban, bukan kebahagiaan.

Mengapa saya harus bercerita tentang harta kekayaan? Ini karena kalimat “harta tidak dibawa tidur” menautkan ingatan saya pada peristiwa Mei 1999 saat saya mendapat tugas kantor berkunjung ke negeri berjuluk “Atap Eropa”, Finlandia.

Kami datang bersama rombongan yang menaruh minat pada Pemilu, di mana pada saat itu pemerintah Finlandia yang sedang mengadakan pemilu legislatif mengundang jurnalis (saya mewakili Harian Kompas dan Meutia dari LKBN Antara), pakar pemilu, anggota Dewan, sampai para politisi mewakili parpol.

Di Finlandia, saya mengenal seorang politisi Partai X yang beberapa tahun kemudian menjadi tokoh koruptor kelas kakap yang paling dikenal. Politisi yang berpembawaan sinis ini memang terkesan agak sombong dan tidak mau kenal orang, bahkan rombongan Indonesia ke Finlandia.

Terhadap jurnalis ia sinis dan terang-terangan menghindar. Mei Tahun 1999 itu , saat kami berkunjung ke Finlandia, dia belum menjadi apa-apa. Dan ketika Pemilu 1999 berlangsung, dia beruntung masuk ke Gedung Bundar Senayan.

Meski tidak di angkat menteri karena kedekatannya dengan ketua partai, nasib baik kemudian membawanya ke sebuah badan yang teramat basah sejak dulu, yakni badan yang mengurusi pangan dan ketersediaan sembako bagi rakyat. Kursi empuk Senayan ditinggalkannya untuk sebuah kursi yang lebih empuk.

Pemandangan itu seperti metafora: harta yang seharusnya menjadi alat kebaikan berubah menjadi beban yang bahkan tak bisa disembunyikan dengan elegan. Pada akhirnya, harta tersebut tidak bisa menyelamatkannya dari jerat hukum, apalagi menemani tidurnya.

 Belakangan, saya baca dan saksikan sendiri dari berita, politisi itu terjerat korupsi berat dan harus berurusan dengan penjara atas perbuatan yang sangat dilaknat rakyat itu.

Yang menarik adalah berita televisi saat petugas KPK menggeladah salah satu rumahnya yang mewah, di mana di WC sang koruptor ditemukan gepokan dollar AS yang masih disimpan dalam beberapa ember.

Itu uang hasil korupsi yang seharusnya disembunyikan atau dilarikan tetapi telanjur ketahuan KPK. Anda bisa menebak-nebak, berapa uang yang sudah berhasil digasak sang koruptor dan disembunyikan dengan aman di suatu tempat?

Barangkali, barangkali… jika saja sang politisi koruptor itu mengenal istilah “harta tidak dibawa mati” atau bahkan yang paling sederhana “harta tidak dibawa tidur”, ia tidak akan setamak itu menyikat uang rakyat.

Seberapa besar jumlah uang rakyat yang telah disikatnya dengan aman, tetap saja ia akan lupakan semua hartanya itu ketika sudah terlelap. Jika saja sang koruptor tahu rakyat bakal menderita akibat perbuatannya itu, barangkali ia amanah dan tidak akan melakukan korupsi secara vulgar.

Namun itu tadi, kecintaan akan harta benda dan harta kekayaan telah menutup kesadarannya: kesadaran sebagai manusia beradab.

Pernah media massa melaporkan berita mengenai seorang jenderal polisi yang mencuci uang hasil korupsinya pada sejumlah rumah mewah, atau dibeli atas nama istri-istri dan kerabatnya.

Tidak tanggung-tanggung sampai 40-an asset yang kemudian disita KPK karena semua harta kekayaannya terindikasi sebagai hasil menjarah Ibu Pertiwi.

Terhadap sang jenderal polisi inipun saya berani bertaruh, dia bahkan tak ingat cincin bertaburkan berlian seharga miliaran rupiah dan ikat pinggang seharga puluhan juta rupiah yang dipakainya saat dia tertidur barang beberapa menit saja, sebelum KPK menggelandangnya ke tahanan.

Seberapa besar harta kekayaan yang berhasil digasaknya, tetap saja bakal terlupakan saat ia terlelap.

Pierre Bourdieu, sosiolog Prancis, pernah menyebut bahwa manusia tidak hanya hidup dari kapital ekonomi, tetapi juga dari kapital sosial, budaya, dan simbolis.

Ketika seseorang terlalu fokus pada harta, ia sering kali kehilangan dimensi lain yang lebih penting: integritas, hubungan manusiawi, dan makna hidup. Korupsi bukan hanya kejahatan terhadap negara, tetapi juga tanda kehampaan jiwa.

Maka, sebelum kita terjebak dalam perlombaan mengejar kekayaan, ada baiknya kita merenung; Apa yang sebenarnya kita kejar? Apakah kekayaan itu mampu memberi kita kebahagiaan sejati, atau justru menjadi beban yang menambah kecemasan?

Tidur, dalam maknanya yang filosofis, adalah simbol keheningan, jeda dari kesibukan dunia. Dalam tidur, kita diingatkan bahwa nilai sejati manusia tidak terletak pada apa yang ia miliki, tetapi pada siapa ia sebenarnya ketika tak memegang apapun.

Karena pada akhirnya, harta memang tidak bisa dibawa tidur, apalagi mati.

Editor : Editor Kontemporer
Editor Picks