News

Terkepung Globalisasi, Di Mana Nasionalisme Berada?

Penulis - Staff | 10 September 2025
Ilustrasi-Nasionalisme (Klinik Fotografi Kompas)

Tidak sedikit mahasiswa dan profesional Indonesia—mereka yang kerap disebut sebagai anak-anak terbaik bangsa—memilih untuk tidak kembali setelah menuntut ilmu di luar negeri.

Bukan karena mereka kehilangan nasionalisme. Sebaliknya, banyak dari mereka tetap mencintai Indonesia. Namun keadaan di Tanah Air sering kali tidak memberi ruang aman dan nyaman bagi ide-ide mereka untuk berkembang.

Sebuah kisah dari kelas
Seorang pendidik, pernah menceritakan pengalaman muridnya.

Salah satu anak didiknya, seorang peneliti, sempat pulang setelah menimba ilmu di luar negeri. Namun birokrasi yang rumit membuatnya sulit menelurkan ide-ide penelitian. Konsep penting yang membutuhkan kecepatan justru tersendat oleh prosedur berlapis.

Akhirnya, sang murid memilih kembali ke luar negeri. Kini ia bekerja di Singapura, bergerak di bidang bioteknologi, dengan fasilitas riset yang sepenuhnya didukung pemerintah setempat.

“Bukan karena ia tidak nasionalis, tapi karena negara tidak siap menampung kecemerlangannya,” katanya.

Banyak murid lain memilih jalan serupa. Ada yang tergoda gaji lebih besar, ada yang ingin memperluas pengalaman, ada pula yang menikah dengan warga negara asing.

Nasionalisme yang Kurang Merayu
Fenomena ini bukan semata soal individu. Ada tanggung jawab negara yang belum dijalankan.

Hingga kini, belum terlihat gebrakan nyata pemerintah untuk menarik para lulusan terbaik pulang. Tidak ada kampanye yang serius, tidak ada gerakan kreatif untuk merayu mereka kembali.

Dulu, kampanye seperti “Gunakan produk dalam negeri” atau “Dua anak cukup” mampu mengubah cara pikir masyarakat dengan iming-iming konkret. Ada jurus merayu yang jelas.

Namun kepada anak-anak terbaik bangsa, apa daya tarik yang pernah ditawarkan?

Adakah iklan, kebijakan, atau program yang sungguh-sungguh mengundang mereka pulang dengan janji ruang kerja yang layak?

Globalisasi vs nasionalisme
Di era globalisasi, batas negara semakin cair. Mahasiswa dan profesional asing bebas bekerja di Indonesia, sementara anak bangsa juga bisa merantau ke negeri orang.

Wajar jika ada yang bertanya: kalau dunia sudah tanpa sekat, mengapa harus risau soal kepulangan?

Namun seperti yang pernah ditulis Hannah Arendt, “Kebebasan bukan berarti bisa pergi ke mana pun, tetapi memiliki tempat untuk kembali.”

Pertanyaan sesungguhnya: apakah Indonesia masih menjadi tempat untuk kembali?

Filosofi, realitas, dan paradoks
Banyak anak bangsa memilih jalan keluar negeri bukan karena menolak Indonesia, tetapi karena merasa Indonesia menolak mereka.

Sistem yang rumit, fasilitas yang terbatas, dan kebijakan yang tidak berpihak membuat mereka mencari makna di tempat lain.

Nietzsche pernah menulis dalam Thus Spoke Zarathustra, manusia unggul bukanlah yang paling kuat, melainkan yang mampu menciptakan makna dalam absurditas dunia.

Banyak anak bangsa kita adalah tipe seperti itu: pekerja keras, pemikir tangguh, pembelajar sejati. Namun di negerinya sendiri, absurditas sistem membuat mereka tidak mendapat ruang.

Paradoks pun lahir: di satu sisi, kita memuja globalisasi. Di sisi lain, kita gagal menyiapkan rumah sendiri.

Nasionalisme sebagai jangkar
Nasionalisme hari ini bukan lagi sekadar bendera berkibar atau lagu wajib di upacara.

Ia harus hadir dalam bentuk nyata: kebijakan yang adil, anggaran yang tepat, dan sistem yang memberi ruang bagi pikiran besar.

Seperti kata Simone Weil, akar menentukan apakah sebuah bangsa tumbuh atau tumbang. Jika kita gagal mencintai anak-anak terbaik bangsa, jangan heran bila mereka merasa lebih nyaman menjadi bagian dari negara lain.

Pertanyaan itu kini menggema: di tengah arus globalisasi, masihkah nasionalisme hidup di negeri ini? Atau justru kita sudah terbiasa hidup tanpa rasa memiliki?

Nasionalisme tidak butuh teriakan keras. Ia butuh gerakan nyata. Ia butuh kepastian bahwa Indonesia adalah rumah yang layak dihuni. Sebab kalau bukan kita yang membangunnya, siapa lagi?

Editor : Editor Kontemporer
Editor Picks