News

Sukuisme Mengemuka, Nasionalisme Merana

Penulis - Staff | 9 September 2025
Ilustrasi: Acara kebudayaan di Bali/Freepik (generated by ai)

Kita kerap terjebak dalam nostalgia masa lalu, masa ketika semuanya dikendalikan dari pusat, seragam, rapi, dan tampak nasionalis. Tetapi tulisan ini bukan romantisasi Orde Baru, bukan pula seruan agar kembali ke zaman sentralistik.

Ini lebih seperti catatan kecil dari seorang warga biasa tentang keprihatinan terhadap arah kebangsaan yang perlahan tergerus oleh semangat kesukuan dan lokalitas yang membabi buta.

Semua bermula dari semangat otonomi daerah, niat mulia agar daerah bisa mengurus rumah tangganya sendiri. Tetapi seperti anak muda yang baru pertama kali pegang mobil sport, seringkali kita tancap gas tanpa rem. Dan kecelakaan pun tak bisa dihindari.

Tahun 2003, di sebuah kabupaten yang sunyi di Sulawesi Selatan, Bulukumba namanya. Muncul protes besar-besaran soal penerimaan PNS.

Bukan karena gajinya kecil—semua orang tahu jadi PNS bukan jalan cepat kaya. Tetapi karena harapan orang-orang biasa dihancurkan oleh satu kata: nepotisme.

Bayangkan, dari ratusan kuota formasi, hampir semuanya disapu bersih oleh anak-anak dan kerabat para bupati, anggota DPRD, dan pejabat setempat.

Seolah-olah, menjadi abdi negara adalah warisan turun-temurun. Padahal, yang mereka abaikan adalah satu nilai dasar dalam kehidupan berbangsa, yaitu keadilan.

Pernahkah kita bertanya, apa makna "putra daerah"? Apakah ia berarti seseorang yang lahir di situ? Tinggal di situ? Atau hanya mereka yang memiliki relasi darah dengan tokoh berpengaruh di daerah itu?

Di banyak kabupaten sekarang, menjadi “putra daerah” bukan lagi soal kedekatan emosional dengan tanah tempat berpijak. Ia berubah menjadi tiket eksklusif untuk mengakses pekerjaan, kekuasaan, dan sumber daya.

Kalau kamu lahir di kabupaten tetangga, jangan harap bisa lolos seleksi PNS, sebaik apa pun nilaimu. Belum tentu Kamu ditolak karena tidak mampu, lebih karena kamu ditolak karena bukan "darah asli."

Ini bukan karangan. Seorang warga Tasikmalaya mengalami sendiri. Sudah dinyatakan lulus seleksi PNS, sudah keluar pengumuman di koran, tetapi lalu muncul “calo” dari partai lokal yang memintanya setor Rp50 juta untuk pengangkatan.

Tanpa uang itu, ia akan dicoret diam-diam. Tanpa resi. Tanpa alasan. “Kalau uang belum turun, SK nggak keluar,” katanya.

Apakah ini pemerintahan daerah yang kita idamkan?

Dan, yang paling mengiris adalah kebijakan tak tertulis bahwa pejabat daerah, bahkan teknokrat, harus putra daerah.

Seakan-akan nasionalisme hanya boleh tumbuh di tanah kelahiran. Padahal, bukankah kita sudah sepakat bahwa Indonesia bukan milik satu suku, satu daerah, atau satu agama?

Mengapa kita takut pada “pendatang” yang cakap dan berintegritas, hanya karena mereka lahir di luar garis batas administrasi daerah kita?

Filosof Prancis, Simone Weil, pernah bilang, "The need for roots is the most important and least recognized need of the human soul."

Tapi akar bukan berarti menolak hujan dari langit lain. Nasionalisme sejati justru tumbuh dari kesediaan berbagi, menerima, dan merawat rumah bersama.

Ketika kita memaksa semua posisi strategis hanya diisi oleh “anak daerah,” kita bukan sedang memperkuat lokalitas. Kita sedang membakar jembatan menuju keadilan nasional.

Kita sedang mengajarkan bahwa kebangsaan hanya berlaku kalau kamu "asli sini."

Lihatlah Pilkada di banyak tempat: isu suku, agama, hingga aksen bicara lebih menentukan pilihan daripada rekam jejak dan kapasitas calon. Bahkan calon kepala daerah bisa ditolak masyarakat bukan karena korup, tapi karena “bukan dari sini.”

Di mana ruang nasionalisme kita ketika yang dilihat bukan kemampuan, tapi garis keturunan?

Dan ini bukan hanya soal jabatan. Lihat sosial media. Berapa banyak konten viral yang justru memicu gesekan identitas antardaerah?

Ada yang menyindir logat, ada yang mengolok-olok budaya, ada yang membanggakan daerahnya dengan cara merendahkan yang lain.

Semua atas nama "daerahku lebih hebat." Padahal, bukankah keindahan Indonesia justru karena keberagamannya?

Bila kita terus-terusan membiarkan ini, maka nasionalisme hanya akan menjadi dekorasi upacara. Kita berdiri tegak menyanyikan Indonesia Raya, tapi dalam hati diam-diam berkata, “Asal dia bukan orang luar.”

Itulah kematian halus dari kebangsaan.

Tulisan ini mungkin seperti suara kecil di tengah riuh. Tapi percayalah, nasionalisme tidak akan bertahan lewat pidato di mimbar, melainkan melalui keputusan-keputusan sehari-hari: menerima yang berbeda, memberi ruang pada yang layak, dan tidak menilai seseorang dari silsilahnya.

Mari kita kembali bertanya pada diri sendiri; apakah saya mencintai Indonesia atau hanya mencintai suku, kota, dan kelompok saya sendiri?

Karena kalau sukuisme terus mengemuka, maka nasionalisme akan terus merana. Dan pada akhirnya, Indonesia akan jadi rumah besar yang diperebutkan oleh orang-orang yang merasa “paling berhak,” alih-alih dijaga oleh mereka yang “paling layak.”

Editor : Editor Kontemporer
Editor Picks