Wajib Militer Biar Mental Tak Gampang “Ngeper”
“Tanpa kewajiban, patriotisme hanyalah romantisme,” kata Charles de Gaulle
Pertanyaan lama yang terus muncul dalam ruang diskusi kebangsaan kita adalah, apakah bela negara itu tugas tentara saja? Atau lebih luas, menjadi panggilan moral seluruh warga negara?
Jawaban filosofisnya sebenarnya sederhana namun tajam: sebuah negara hanya bisa bertahan jika setiap warganya merasa memiliki.
Artinya, pertahanan bukan cuma urusan TNI, tetapi urusan kita semua—mulai dari media sosial hingga medan tempur, dari ruang kelas hingga ruang keluarga.
Dalam dunia yang makin tak pasti—dengan ancaman siber, disinformasi, konflik wilayah, hingga perang dagang—konsep bela negara tidak bisa lagi sempit dimaknai sebagai siap mengangkat senjata.
Hari ini, bela negara adalah kombinasi dari mental tahan banting, literasi kebangsaan, dan kesiapan menghadapi krisis.
Sayangnya, survei LSI Denny JA (2023) menunjukkan bahwa hanya 42% generasi muda Indonesia yang memahami arti bela negara secara menyeluruh. Dan hanya 27% yang merasa siap jika diminta terlibat dalam program pertahanan sipil.
Di sisi lain, platform seperti TikTok dan Instagram justru mendominasi perhatian mereka hingga rata-rata 4–5 jam per hari (We Are Social, 2024). Artinya, ada kesenjangan serius antara ruang digital anak muda dan ruang ideologis mereka.
Benarkah bela negara negeri ini hanya diletakkan pada pundak militer? Jika ada serangan yang datang dari pihak luar atau ada pemberontakkan di negeri sendiri yang menjurus makar, katakanlah sampai berniat memisahkan diri dari NKRI, biarlah para serdadu saja yang menanganinya.
Lantas kita sebagai warga menunggu pasif saja hasilnya. Begitukah? Paling banter dukung doa. Toh militer digaji memang untuk tujuan itu, tujuan bela negara, menjaga Ibu Pertiwi dari kemungkinan gangguan pihak luar. Mereka didoktrin rela mati untuk bela negara. Sekali lagi, benarkah bela negara ini hanya monopoli tentara?
Sekali-kali jika bertemu dengan orang Singapura, China, Korea, Eropa, atau Amerika, cobalah tanyai mereka mengenai konsep bela negara. Besar kemungkinan jawaban mereka: setiap warga negara wajib bela negara. Untuk itulah mereka menerapkan wajib militer. Wah, kesannya militeristik banget, ya?
Bukan Militeristik, Tapi Edukatif
Banyak yang takut dengan istilah “wajib militer”, seolah-olah semua warga nanti akan dilatih menembak dan berbaris berjam-jam. Tapi mari tengok ke luar: Korea Selatan mewajibkan warganya menjalani pelatihan militer 18–21 bulan.
Tapi di balik itu, nilai tanggung jawab, kedisiplinan, dan patriotisme ditanamkan sebagai bagian dari proses pendewasaan. BTS pun semangat menjalaninya.
Singapura punya National Service yang mewajibkan warga pria berusia 18 tahun ke atas mengikuti pelatihan di bidang militer, polisi, atau pertahanan sipil. Hasilnya?
Negara sekecil itu menjadi salah satu kekuatan pertahanan paling modern di Asia Tenggara. Swiss bahkan melibatkan semua warganya dalam sistem pertahanan rakyat semesta.
Tidak semua harus menembak. Ada yang menjadi tenaga medis, logistik, atau instruktur pendidikan masyarakat.
Di Indonesia, konsep seperti itu pernah hidup dalam bentuk Pramuka, Pendidikan Kewarganegaraan, hingga Lembaga Ketahanan Nasional. Tapi kini, Pramuka tak lagi bergema seperti dulu.
Pendidikan Pancasila hanya tersisa di soal pilihan ganda. Dan Hansip? Kadang lebih dikenal sebagai penjaga hajatan daripada penjaga pertahanan sipil.
Mungkin bukan “wajib militer” yang kita butuhkan, tapi wajib bela negara—dalam format yang lebih inklusif, edukatif, dan relevan.
Pemerintah Indonesia sebenarnya sudah meluncurkan Program Bela Negara melalui Kementerian Pertahanan sejak 2015.
Dalam satu tahun, sekitar 100.000 warga mengikuti pelatihan dasar bela negara (Kemhan RI, 2022). Tapi program ini masih terbatas, dan belum menyentuh mayoritas warga muda.
Padahal, bela negara bisa dilakukan tanpa senjata: melawan hoaks dan disinformasi, membantu korban bencana, menjadi relawan kesehatan dan Pendidikan, melestarikan budaya dan bahasa daerah, dan mewakili Indonesia dalam kompetisi internasional.
Di sinilah pentingnya mengubah paradigma: bela negara bukan tentang “siap perang”, tapi “siap berkontribusi”.
Kita sering memuja semangat para pejuang kemerdekaan yang bertempur dengan bambu runcing. Tapi mari jujur: zaman mereka tak ada hoaks TikTok, manipulasi AI, atau serangan siber lintas negara.
Zaman kita jauh lebih kompleks. Maka bambu runcingnya hari ini bisa berupa literasi digital, ketahanan psikologis, dan kolaborasi sosial.
Dan ya, tentu saja masih penting untuk melatih fisik, bertahan di medan sulit, menaklukkan tantangan, atau mengenal dasar-dasar survival. Tapi itu semua harus dibungkus dalam pelatihan yang menyenangkan, membangun solidaritas, dan membentuk karakter.
Bela negara bukan “indoktrinasi gaya lama”, tapi pendewasaan gaya baru.
Atau simpan dulu dalam kotak memori kamu istilah “militer” atau “wajib militer” kalau masih trauma dengan militer masa lalu, militer yang kerap diselewengkan fungsinya oleh rezim lama saat ia berkuasa. Sekarang kita bicara soal bela negara sajalah.
Barangkali istilah “wajib militer” memiliki konotasi buruk dan sedikit menyeramkan. Kalau mau, lebih baik diganti saja dengan istilah “wajib bela negara”.
Bukankah Jepang juga menamakan pasukan tentaranya dengan “Pasukan Bela Diri Jepang”? Persoalannya, dengan cara apa kita, anak-anak kita, cucu-cucu kita kelak menjalankan “bela negara” dan bela Tanah Air mereka sendiri?
Apakah naluri dan rasa cinta Tanah Air masih mereka punya ketika NKRI mendapat ancaman? Jangan jauh-jauh, apa reaksi mereka ketika Sipadan-Ligitan lepas dari pangkuan Pertiwi?
Apa yang pemuda-pemudi lakukan ketika Ambalat, Miangas dan Natuna mendapat ancaman pihak luar? Dari mana naluri bela negara mereka muncul kalau naluri itu tidak pernah diasah, tidak pernah diajarkan cara-cara bela negara yang sebenarnya?
Di kita, memang ada pertahanan sipil yang biasa disingkat “Hansip”. Tetapi sekarang konotasinya kok jadi Satpam, ya?
Kalau Satpam menjaga toko, pabrik, kantor dan rumah-rumah mewah, Hansip menjaga keamanan balai desa, paling banter kantor kecamatan. Kadang Hansip menjaga orang yang melangsungkan kenduri atau hajatan. Jelas bukan itu maksudnya.
Dahulu, sepanjang sekolah SD sampai SMA masih menjadi anggota Pramuka, praja muda karana. Seminggu sekali selepas sekolah, kegiatan Pramuka biasa dilakukan.
Berbagai keterampilan “bela negara” dalam skala kecil diajarkan. Mulai tali-temali, mengenal sandi dan memecahkan sandi tertentu, juga menguasai morse. Salah satu kelengkapan Pramuka itu adalah tambang yang tergantung rapi di pinggang, peluit, bahkan pisau belati, dan alat-alat pertahanan atau bela diri lainnya.
Kegiatannya pun kerap dilakukan di luar sekolah, menyusuri sungai sampai mendaki bukit. Kalau sudah mengenakan seragam kebesaran Pramuka, rasanya sudah menjadi anak paling Indonesia saja.
Menjadi Pramuka, secara berkala berkemah pula. Tidur ditenda atau udara terbuka, melihat bulan atau bintang gemintang pada malam hari. Api unggun dinyalakan, air hangat digantungkan di kastrol untuk menyeduh kopi. Kami diajarkan bernyanyi lagu-lagu perjuangan, lagu-lagu heroik.
Bukan lagu Bunga Cita Lestari, Cherrybelle, Samsons, Afgan, d’Masiv, atau The Rock. Lagu syahdu yang kami nyanyikan manakala usai latihan adalah lagu Syukur ciptaan H Mutahar… dari yakinku teguh hati ikhlasku penuh… Kebersamaan terjalin. Dan, saat itulah pembina mengajarkan kita cinta Tanah Air dan dalam skala kecil bela negara itu tadi.
Adakah sekarang itu masih dilakukan oleh anak-anak kita atau malah tidak dilakukan sama sekali?
Kalau masih dilakukan, barangkali benih-benih bela negara sudah diajarkan bisa sejak dini. Di negara lain seperti yang dsebutkan di atas, warga negara yang memasuki usia dewasa wajib digembleng dalam suatu kegiatan yang disebut “wajib militer”.
Disebut wajib militer, sebab pada pengemblengan fisik yang tidak beda dengan penggemblengan untuk militer itu warga dilatih berbagai keterampilan. Sejalan dengan itu, doktrin kenegaraan, kebangsaan dan keterampilan dijejalkan melalui tutorial maupun permainan. Otak dicas dan diisi kembali dengan “keindonesiaan”.
Kalau saja kita menawarkan atau mengusulkan sebaiknya “wajib militer” dicoba diterapkan pada setiap warga negara sipil, barangkali ditertawakan habis-habisan. Militeristik.
Bahkan mungkin ada yang berteriak, “Haree geneeee… wajib militer!” Para orangtua yang memiliki anak berusia 17 tahun ke atas pasti tidak setuju putera-puterinya terpisahkan untuk waktu sekian lama, mungkin berbulan-bulan, hanya untuk “investasi bela negara”.
Hatinya juga was-was, jangan-jangan putera-puteri mereka tidak tahan menerima gemblengan ala militer yang berujung pada kematian. Padahal, mapram atau opspek saja bisa makan korban juga, ya?
Kalau trauma dengan istilah “wajib militer” dan berpikir menerapkan “wajib militer” suatu kemunduran, bagaimana kalau istilah itu diganti menjadi “wajib bela negara” saja?
Wajib bela negara tidak sama dengan Pam Swakarsa yang lebih membela organisasi atau golongan tertentu. Pelatihan untuk bela negara tentu saja tidak selalu identik dengan cara-cara militer. Akan tetapi, konsep bela negara itulah yang terus diindoktrinasikan dalam pikiran lalu diptaktikkan dalam bentuk latihan fisik maupun nonfisik.
Jika bicara pada penekanan, tentu saja tetap pada “survival” dengan menggembleng warga negara yang memasuki usia dewasa dilatih berbagai kerampilan fisik, menaklukkan medan berat, mengarungi jeram, menapaki bukit, termasuk belajar ilmu bela diri martial art.
Setidak-tidaknya, setiap warga negara punya kesadaran untuk membela negaranya dari ancaman dan gangguan pihak luar. Paling tidak, sebagai warga mereka tidak acuh begitu saja ketika beberapa pulau terluar lepas ke tangan negara lain.
Setidak-tidaknya ketika Miangas atau Natuna dipersoalkan negara lain, insting bela negaranya muncul dan terpanggil untuk berbuat sesuatu. Bagi sebagian orang, wajib bela negara itu tidak sama dengan militeristik.
Wong dulu saja para pejuang kemerdekaan hanya menggunakan bambu runcing untuk bela negaranya dan tak pernah dilatih ilmu kemiliteran pula. Hanya dibimbing naluri saja bahwa bela negara itu wajib hukumnya bagi setiap warga negara.
Pertanyaannya, masihkah naluri “bela negara” seperti para pendahulu itu kita miliki sekarang? Atau lebih baik baik kita teriak ramai-ramai; “Haree Geneee wajib militer!”
Bela negara bukan lagi tentang baris-berbaris atau hafalan Pancasila. Ini tentang mental tangguh, pikiran terbuka, dan semangat berbuat untuk tanah kelahiran. Kalau negara lain bisa membuat warganya bangga jadi bagian dari sistem pertahanan sipil, kenapa kita tidak?
Mari mulai dari mengganti istilah “wajib militer” menjadi “wajib bela negara”. Dan yang lebih penting: mari kita bangun ekosistem pembinaan kebangsaan yang kreatif, inklusif, dan menyenangkan bagi generasi muda. Karena pertahanan terbaik bukan di perbatasan, tapi di hati rakyatnya.
| Editor | : | Editor Kontemporer |