People

Antara Pengakuan, Peran Sosial, dan Makna Kehidupan

Penulis - Staff | 17 September 2025
Ilustrasi-Validation (foto: freepik)

"Mengapa ijazah harus disembunyikan seorang pejabat, ijazah proklamator Mohamad Hatta saja bisa dilihat di sebuah museum di Belanda dan menjadi kebanggaan kita semua," teriak salah seorang penggugat keabsahan ijazah Presiden Ke-7 RI Joko Widodo.

Saat menjabat Presiden RI, Joko Widodo alias Jokowi tidak pernah memperkarakan rakyatnya sendiri kendati berisi fitnahan dan ujaran kebencian. Ketika sudah menjadi rakyat biasa dan bukan pejabat, itu lain cerita.

Tukang kayu dari Solo itu mulai bersuara dan bahkan menguji orang-orang yang menuduhnya berizah palsu untuk membuktikan kebenaran tuduhan mereka di pengadilan. 

Demikianlah esensi berbangsa-bernegara, di mana setiap warga negara berhak menggunakan instrumen hukum untuk menguji suatu kebenaran. Jokowi tidak terpancing dengan orang-orang yang menyindirnya, "Apa susahnya menunjukkan ijazah, persoalan selesai."

Oh, tidak semudah itu, Fergusso. Rupanya Jokowi paham prinsip hukum Actori Incumbit Probatio, barang siapa mendalilkan sesuai, ia harus membuktikan dalilnya tersebut. 

Bahwa Jokowi tidak mau begitu saja memperlihatkan ijazahnya, tentu mengetahui pula prinsip kehati-hatian dan privasi, bahwa ijazah menyimpan informasi pribadi yang cukup sensitif, sehingga dalam banyak konteks tidak semestinya diperlihatkan sembarangan.

Informasi pribadi yang terkandung dalam selembar ijazah antara lain nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, nomor induk siswa/mahasiswa, nama institusi pendidikan, tahun kelulusan, gelar akademik, bahkan tanda tangan si pemilik ijazah.

Semua data-data tersebut dapat digunakan untuk verifikasi identitas, dan dalam konteks digital, berisiko disalahgunakan untuk pemalsuan identitas (identity theft), pemalsuan dokumen (misalnya, template untuk ijazah palsu), dam akses tidak sah ke layanan publik atau keuangan.

Ijazah adalah penyimpan dokumen legal yang terlindungi. Sebagai dokumen resmi negara atau lembaga pendidikan, secara hukum ijazah dapat digunakan dalam proses hukum atau administratif, bukti sah kualifikasi akademik, dan termasuk kategori data pribadi menurut Undang-undang Perlindungan Data Pribadi (Undang-undang No. 27/2022).

Meminta atau menunjukkan ijazah secara terbuka tanpa alasan jelas bisa dianggap tidak etis, apalagi jika dilakukan dalam konteks merendahkan atau mempertanyakan kelayakan seseorang secara pribadi dan dipublikasikan ke publik tanpa sensor.

Sementara dalam konteks resmi ijazah dapat digunakan untuk melamar kerja, mendaftar sekolah atau program profesional, bahkan pengajuan kredit/pinjaman. Ijazah memang perlu diperlihatkan, tetapi hanya kepada pihak yang berwenang dan dalam prosedur yang aman.

Bukan diperlihatkan kepada orang atau sekelompok orang yang bahkan tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing). 

Ijazah menyimpan privasi dan kredibilitas akademik seseorang. Karena itu, ia tidak boleh diperlihatkan sembarangan kecuali dalam konteks yang sah, dengan pihak yang berhak, dan dengan perlindungan data yang memadai.

Memang di berbagai sudut rumah, kantor, atau bahkan toko fotokopi, ijazah seringkali hadir sebagai bukti sah bahwa seseorang telah menempuh jenjang pendidikan tertentu.

Tetapi apakah kita pernah berhenti sejenak untuk sekadar bertanya; apa sebenarnya makna ijazah itu bagi hidup kita? Ternyata ijazah bukan sekadar kertas berlogo resmi dan tanda tangan rektor, ijazah memiliki lapisan makna yang kompleks—secara psikologis, sosiologis, dan filosofis.

Ijazah dan rasa diri
Secara psikologis, ijazah menjadi bagian dari konstruksi identitas diri. Ia mengukuhkan persepsi seseorang terhadap kemampuannya. Ketika seseorang berkata, “Saya lulusan teknik” atau “Saya sarjana pendidikan,” pernyataan itu bukan hanya informasi, tapi juga ekspresi jati diri.

Namun, ijazah juga bisa menjadi sumber tekanan psikologis. Dalam masyarakat yang menjunjung tinggi gelar, seseorang bisa merasa gagal bila tidak bekerja sesuai bidang studi atau bila gelarnya tak sebanding dengan realitas hidupnya.

Ijazah kemudian menjadi beban ekspektasi, bukan lagi sumber kebanggaan. Terlalu melekat pada identitas akademis juga bisa menghambat fleksibilitas psikologis dalam beradaptasi dengan perubahan zaman.

Ijazah sebagai modal dan alat stratifikasi
Dari sudut pandang sosiologis, ijazah memiliki fungsi sebagai modal simbolik dan modal kultural. Ia membuka akses ke pekerjaan formal, memperluas jaringan sosial, dan meningkatkan status sosial. Dalam sistem meritokrasi, ijazah dianggap sebagai bukti objektif kompetensi seseorang.

Namun, sosiologi juga menyoroti bahwa akses terhadap ijazah tidak setara. Mereka yang berasal dari keluarga berada memiliki peluang lebih besar memperoleh pendidikan berkualitas, sehingga menciptakan reproduksi ketimpangan sosial.

Dalam banyak kasus, ijazah juga menjadi alat klasifikasi sosial: gelar seseorang bisa menjadi patokan siapa yang dianggap “layak” berbicara atau memimpin.

Ironisnya, inflasi pendidikan kini membuat ijazah tak lagi menjamin pekerjaan, apalagi kesuksesan.

Seseorang bisa memiliki gelar tinggi tapi tetap tertinggal secara ekonomi, sementara yang tidak memiliki ijazah bisa berhasil karena keterampilan lain. Ini mengajak kita meninjau ulang nilai sosial yang dilekatkan pada selembar kertas itu.

Apakah ijazah menentukan nilai diri?
Filsafat mengajak kita untuk bertanya lebih dalam; apakah ijazah menentukan nilai manusia? Jika kita memahami manusia sebagai makhluk rasional dan etis (dalam pandangan Aristoteles), maka nilai seseorang seharusnya ditentukan oleh kebijaksanaan, keutamaan, dan kontribusinya bagi masyarakat, bukan oleh gelar formal semata.

Dalam pandangan eksistensialis, seperti yang dikemukakan oleh Jean-Paul Sartre, manusia bertanggung jawab membentuk esensinya melalui tindakan.

Ijazah hanyalah salah satu bentuk “fakta diri” (facticity) yang bisa membantu, tetapi tidak menentukan siapa kita. Menjadi manusia sejati adalah soal keberanian mengambil keputusan, bukan sekadar mengikuti label akademik.

Lantas bagaimana kita seharusnya memperlakukan Ijazah?

Pertama, ijazah adalah titik berangkat, bukan titik akhir. Ijazah menunjukkan bahwa kita pernah belajar, tetapi bukan jaminan bahwa kita sudah selesai belajar.

Kedua, sebagai alat, bukan identitas tunggal. Ijazah selayaknya digunakan sebagai alat bantu dalam meniti karier atau kontribusi sosial, namun jangan biarkan ia membatasi potensi diri yang lebih luas. 

Ketiga, sebagai tanggung jawab sosial. Setiap pengetahuan formal yang kita miliki perlu ditransformasikan menjadi manfaat, terutama bagi mereka yang tak punya akses ke pendidikan.

Keempat, sebagai pengingat akan proses. Filosofisnya, ijazah adalah lambang perjalanan, bukan pencapaian itu sendiri. Nilai sejati bukan pada hasil, tetapi pada proses bertumbuh.

Pada akhirnya, ijazah hanyalah satu bagian dari narasi kehidupan. Ia penting, tetapi bukan segala-galanya. Nilai hidup kita tidak ditentukan oleh gelar, tetapi oleh integritas, keberanian memilih jalan hidup, dan kebermanfaatan bagi sesama.

Maka, sebaiknya perlakukanlah ijazah dengan bijak: hormati prosesnya, gunakan fungsinya, tetapi jangan membiarkannya menjadi penentu satu-satunya siapa kita sebenarnya.

Editor : Editor Kontemporer
Editor Picks