Belajar Acungkan Tangan Tanda Hidup dalam Sebuah Peradaban
Filsuf Jerman, Immanuel Kant, mengatakan bahwa pencerahan terjadi ketika manusia berani menggunakan akalnya sendiri, sapere aude: "beranilah berpikir sendiri". Tetapi berpikir saja tidaklah cukup.
Pikiran perlu dijelmakan menjadi aksi. Dalam konteks sosial, aksi pertama yang sangat mendasar adalah ketika seseorang mengangkat tangan: untuk bertanya, untuk menjawab, untuk menolak, atau untuk menyetujui.
Itulah momen ketika seseorang melepaskan pasifitas dan memulai partisipasi.
Lihatlah anak-anak di kelas yang mengangkat tangan: “Bu, saya tahu jawabannya!” “Pak, saya mau tanya…”
Di situlah lahir keberanian yang halus: keberanian untuk salah, keberanian untuk tak tahu, dan keberanian untuk menjadi bagian dari percakapan. Sayangnya, keberanian seperti ini sering dipadamkan sejak dini.
Banyak anak belajar bahwa diam lebih aman daripada bertanya. Banyak siswa takut mengangkat tangan karena bisa dianggap sok pintar—atau malah takut ditertawakan kalau jawabannya salah.
Padahal, seperti yang ditekankan Paulo Freire, pendidikan yang membebaskan adalah pendidikan yang membangun kesadaran kritis. Dan kesadaran itu tidak mungkin tumbuh tanpa keberanian untuk tampil, sekecil apa pun, termasuk lewat acungan tangan.
Perlukah kita mengajari anak-anak kita, adik-adik kita, murid-murid kita, mengacungkan tangan? Apa perlunya mengacungkan tangan dalam sebuah peradaban?
Apa makna yang terkandung di dalamnya saat kita, seseorang, atau kamu, mengacungkan tangan? Adakah makna yang dalam di balik kita mengacungkan tangan? Atau, hanya sekadar mengacungkan tangan tanpa makna?
Dalam tulisan ini menggunakan istilah “acungkan tangan”, bukan “angkat tangan” yang berkonotasi “dipaksa” menyerah dalam konteks peperangan. Acungkan tangan yang dimaksud di sini berkonotasi positif.
Sederhananya, seperti membayangkan aktivitas orang mengacungkan tangan itu di dalam kelas. Murid-murid mengangkat tangan acungkan telunjuk atau membuka lima jari mereka ketika guru bertanya dan melempar pertanyaan.
Mengacungkan tangan bisa berarti mengerti betul dan siap menjawab pertanyaan atau bisa juga mengacungkan tangan itu sekadar bertanya karena ingin tahu atas suatu persoalan yang ingin diketahui.
Mengacungkan tangan untuk bertanya karena tidak tahu atau tidak mengerti. Akan tetapi, pernahkah terpikirkan apa konsekuensi dan manifestasi kita mengacungkan tangan?
Untuk menjawab pertanyaan sederhana itu pikiran membawa kita pada Soempah Pemoeda 28 Oktober 1928, sebuah komitmen sebagai cikal bakal lahirnya Ibu Pertiwi. Sudah lama berlalu memang.
Kita bisa membayangkan, betapa hebatnya para wakil Jong Celebes, Jong Sumatera, Jong Ambon, Jong Bali, Jong Java dan jong-jong lainnya mengacungkan tangan untuk sebuah persetujuan dimulainya pergerakan baru menuju kemerdekaan dengan satu ikatan yang kuat.
Alangkah hebatnya ketika mereka mengacungkan tangan pertanda bersetuju dengan Satu Noesa, Satoe Bangsa, Satoe Bahasa kita bahasa Indonesia!
Namun, kita juga perlu sadar: mengacungkan tangan bukan hanya soal inisiatif—tetapi juga soal konsekuensi. Bayangkan di parlemen, para wakil rakyat mengangkat tangan menyetujui sebuah undang-undang.
Tangan itu mungkin terlihat tenang, tapi di baliknya bisa menyimpan keputusan yang akan memengaruhi jutaan orang. Di Dewan Keamanan PBB, satu acungan tangan bisa berarti sanksi ekonomi, atau bahkan serangan militer.
Dalam dunia digital hari ini, "mengacungkan tangan" tak selalu dalam bentuk literal. Tetapi kita "angkat suara" lewat voting, tanda suka, petisi online, retweet—semuanya adalah bentuk keterlibatan yang punya dampak nyata.
Artinya, mengacungkan tangan, dalam bentuk apa pun, harus selalu disertai pemahaman tentang tanggung jawab. Kita tak boleh hanya mengajar anak-anak bagaimana mengangkat tangan, tetapi juga mengapa dan untuk apa.
Bukan sekadar berani, tapi juga sadar. Seperti dikatakan Hannah Arendt, tindakan politik sejati adalah tindakan yang dilakukan dengan kesadaran akan akibatnya bagi dunia bersama kita.
Jadi, mari kita ajarkan anak-anak bukan hanya untuk bisa menjawab soal, tapi juga untuk bertanya dan mempertanyakan. Mari kita latih mereka bukan hanya untuk patuh, tapi untuk berani hadir dalam ruang sosial.
Sebab dalam dunia yang semakin kompleks ini, satu tangan yang terangkat dengan sadar lebih berarti daripada seribu yang tertunduk dalam diam.
| Editor | : | Editor Kontemporer |