People

Ijazah Bukan Soal Kertas, Tapi Soal Jejak

Penulis - Staff | 17 September 2025
Ilustrasi-Pendidikan (Foto: Freepik-AI Generated)

Malausma adalah sebuah kota kecil yang paling tersembunyi. Ia nyaris tak masuk peta wisata, tetapi syukurlah aplikasi Google Map pernah mencatatnya berhubung ada beberapa orang yang pernah singgah di sini.

Di kota kecil ini hiduplah Rohanda, seorang pria paruh baya yang bekerja sebagai seorang tukang servis radio. Di tengah gempuran teknologi di mana pesawat televisi saja sudah tergusur Internet, radio benar-benar menjadi barang elektronik paling antik yang masih menjadi teman kesepian penduduk. 

Siapapun dapat mengukur kehidupan Rohanda dari pekerjaannya sebagai tukang servis radio yang masih tersisa.

Anehnya, ia bertahan dengan pekerjaannya, berkhidmat pada keahliannya yang tak kalah antik. Setiap pagi, bapak tiga anak ini membuka kiosnya yang sempit di pinggir pasar, merapikan obeng dan kabel-kabel kusut, lalu menyetel lagu lama dari radio butut yang entah sudah diperbaiki berapa kali. Demikian cara Rohanda menarik minat siapapun yang datang ke pasar.

Pada akhirnya orang-orang tahu, yang istimewa dari Rohanda bukanlah keahliannya, melainkan cerita-ceritanya yang memukau. Ia bisa bicara tentang transistor sambil mengutip absurditas Albert Camus, menjelaskan arus listrik sambil menyisipkan pemikiran Friedrich Nietzsche yang menghantam kesadaran.

Tetapi kalau ditanya sekolahnya sampai mana, Rohanda menjawabnya dengan tertawa kecil, “Sampai suatu saat kau paham bahwa belajar itu tak pernah selesai dan tidak harus di ruang kelas sekolah.”

Matahari sudah condong ke Barat dan kawanan kalong siap-siap mengotori langit senja, seorang anak muda datang membawa radio rusak ketika tak seorang pun datang menenteng radio rusak kepadanya.

Bahkan saat itu pintu kios sudah akan ditutupnya, tetapi si anak muda setengah merengek meminta kesediaan tukang servis itu membereskan radionya. “Aku bakal kesepian mala mini tanpa radio,” katanya memelas.

Si tukang servis radio luluh. Sambil memeriksa radio bututnya yang sekarat tanpa suara, keduanya mengobrol panjang. Doni, pemuda itu bertanya, “Pak, kenapa sih orang zaman sekarang ribut banget mempersoalkan ijazah? Bukankah yang penting itu bisa kerja dari sekadar selembar kertas?”

Rohanda diam sejenak. Ia menatap langit yang mulai memerah, kemudian menjawab dengan pelan, seperti sedang membaca dari buku yang tak tampak. “Nak, ijazah itu seperti tanda kaki di lumpur," katanya. "Ia tak menjamin kau cepat, tapi ia tunjukkan bahwa kau pernah melangkah.

Dunia ini bukan cuma soal bisa atau tidak bisa, tapi soal bisa dipercaya atau tidak. Dan kepercayaan dibangun dari bukti, walau sering cuma selembar kertas yang dilipat rapi di map plastik.”

“Jadi sedemikian pentingkah ijazah?" tanya Doni lagi, "Bukankah banyak juga orang pintar tanpa ijazah?”

Rohanda tersenyum. Ada bunyi gemerisik radio yang sedang ditanganinya. “Betul. Banyak bahkan," jawabnya. "Tapi kau tahu apa bedanya orang yang berjalan tanpa meninggalkan jejak dan orang yang bilang dia sudah sampai tanpa pernah berjalan?”

Pemuda itu mengernyitkan dahi. Rohanda melanjutkan, “Yang pertama mungkin tak dikenang. Yang kedua bisa menipu.” 

Doni masih kesulitan menangkap perkataan tukang servis radio itu.

Di dunia tempat janji bisa ditulis ulang dan cerita dapat direkayasa, ijazah adalah salah satu dari sedikit hal yang masih bisa diverifikasi.

Bukan karena ia maha penting, tapi karena ia sederhana—dan justru karena kesederhanaannya, ia tak mudah dipalsukan tanpa niat menyembunyikan sesuatu yang lebih besar.

Ijazah bukan puncak gunung. Ia adalah penanda bahwa seseorang pernah mendaki, pernah berkeringat, pernah mengulang pelajaran yang membosankan, pernah berdebat dengan dosen yang cerewet, dan tetap menyelesaikan semua pelajaran yang dibebankan. Dan dalam hidup, menyelesaikan sesuatu itu tak pernah sederhana.

Rohanda kembali ke radionya, membongkar penutup belakang, lalu berkata, “Kadang, yang paling kecil itulah yang menunjukkan apa yang besar di dalamnya.”

Radio berdengung lagi. Suara gemerisik menjadi kumandang azan magrib dari sebuah stasiun radio swasta. Selesai azan, lagu lama kembali mengalun. Doni senang radio bututnya bisa hidup kembali. Aku takkan kesepian mala mini, gumamnya.

"Ngomong-ngomong apakah Bapak punya ijazah untuk menjadi tukang servis radio yang hebat ini?" tanya Doni sesaat sebelum berpamitan.

"Kalau bersekolah dan punya ijazah, mungkin saya sudah punya pabrik radio, Nak," jawab Rohanda.

"Tetapi bagaimana mungkin Bapak bisa berfilsafat dengan mengutip Camus dan Nietzsche tanpa bersekolah?"

Rohanda membalas, "Saya memang tidak bersekolah, Nak, tetapi tidak pernah berhenti belajar."

Editor : Editor Kontemporer
Editor Picks