Nilai Selembar Kertas Bernama Ijazah
Banyak orang bersepakat, kelulusan adalah puncak perjuangan Pendidikan dan selembar ijazah adalah sebagai buktinya. Kertas yang ditandatangani rektor atau kepala sekolah ini sering dianggap sebagai tiket emas menuju masa depan: pekerjaan yang baik, status sosial, bahkan harga diri di tengah masyarakat.
Namun, seiring perkembangan zaman, pertanyaan yang semakin relevan adalah: setelah punya ijazah, lalu mau ngapain?
Secara formal, ijazah adalah dokumen resmi yang menyatakan bahwa seseorang telah menyelesaikan jenjang pendidikan tertentu.
Di Indonesia, ijazah bukan hanya simbol akademik, tetapi juga kunci administratif untuk banyak hal: melamar kerja, daftar CPNS, naik pangkat, bahkan sekadar mengakses beasiswa.
Kamu hanya bisa berangan-angan menjadi pegawai negeri seperti melukis di atas permukaan air bah tanpa selembar ijazah.
Namun demikian, seiring meningkatnya jumlah lulusan tiap tahun, nilai ijazah mulai "terdelusi". Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa pada 2023 saja lebih dari 1 juta lulusan sarjana baru masuk ke pasar kerja, sementara lapangan kerja yang sesuai tidak bertambah secara signifikan.
Akibatnya, tak sedikit lulusan bekerja di sektor informal, atau menjadi pengangguran terdidik. Lantas di mana fungsi ijazah?
Ini menimbulkan pergeseran makna: ijazah yang dulu dianggap jaminan, kini hanya dianggap modal awal. Dunia kerja tak lagi sekadar mencari gelar, tapi lebih menekankan keterampilan, integritas, dan kemampuan adaptasi.
Selembar kertas bernama diplome dalam Bahasa Perancis atau certificate dalam Bahasa Inggris itu menjadi pertimbangan kesekian kalau tidak mau dikatakan diabaikan.
Apakah ijazah menjamin kehidupan lebih baik?
Jawaban jujurnya: tidak selalu. Pendidikan memang membuka peluang, tapi bukan penentu tunggal kesuksesan. Banyak kisah sukses datang dari orang-orang tanpa latar belakang akademik tinggi—mereka mengandalkan intuisi, kreativitas, dan kegigihan.
Sebaliknya, ada juga sarjana yang terjebak dalam kemapanan ijazah, tanpa mengembangkan kemampuan lain yang relevan dengan zaman. Semoga kamu tidak termasuk golongan ini.
Ingat kata Yuval Noah Harari, sejarawan modern, ada 21 pekerjaan yang bakal lenyap di Abad 21 akibat kehadiran mesin pintar bernama Artificial Intelligence (AI). Sainganmu bukan hanya sesama manusia berijazah, melainkan robot-robot tanpa ijazah.
Namun, bukan berarti ijazah tidak penting. Ia tetap berharga, terutama dalam membuka gerbang awal—mendapat kepercayaan, memasuki birokrasi, atau menapaki karier profesional.
Bayangkan jika kamu capek-capek menempuh pendidikan S1, S2 sampai S3 tetapi setelah lulus tanpa selembar pengakuan dalam bentuk ijazah. Tetapi setelah itu, apa yang dilakukan pemiliknya yang menentukan.
Semisal kamu menetapkan hati untuk menjadi dosen, maka yang harus kamu serahkan kepada Lembaga Pendidikan di mana kamu akan bekerja itu ya selembar ijazah itu tadi, meski sekadar salinannya yang telah dilegalisir.
Fungsi sosial dan politik ijazah di Indonesia
Uniknya di negeri ini, ijazah punya fungsi yang lebih luas dari sekadar pengakuan akademik. Ia bisa menjadi alat politik.
Ini tampak jelas dalam kasus tuduhan ijazah palsu terhadap mantan Presiden Joko Widodo yang menggemparkan publik dan mengharu-biru perasaan lovers dan haters Presiden Ke-7 RI ini.
Meski pihak Universitas Gajah Mada (UGM) berkali-kali menegaskan bahwa benar Jokowi, nama popular Joko Widodo, adalah lulusannya dengan bukti-bukti otentik seperti ijazah asli, tetap saja para haters dengan agenda tersembunyi di belakangnya ngotot mengatakan ijazah Jokowi palsu tanpa buktiu.
Peristiwa itu menunjukkan bagaimana ijazah bisa dijadikan senjata untuk menggoyang legitimasi seorang pemimpin, padahal prinsip hukum paling dasar jelas mengatakan, actori incumbit probatio, bahwa orang yang menuduhlah yang harus membuktikan tuduhannya itu. Tetapi, kebencian selalu menutupi akal sehat.
Pasal tinggal pasal. Tuduhan semacam itu memperlihatkan betapa kuatnya persepsi bahwa keabsahan akademik sama dengan keabsahan moral dan politik. Padahal, kepemimpinan bukan semata-mata soal gelar, tetapi lebih tentang keputusan dan tanggung jawab.
Di sisi lain, kasus ini juga menyoroti lemahnya sistem verifikasi ijazah di Indonesia, padahal untuk kasus tuduhan ijazah palsu Jokowi, Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada berbagai tingkatan sudah menyatakan ijazah Jokowi asli.
Tanpa keaslian ijazah, bagaimana mungkin ayah Gibran Rakabuming Raka yang kini wakil presiden itu bisa menjadi walikota, gubernur sampai presiden. Tetapi memang, maraknya kasus ijazah palsu baik dari lembaga bodong maupun pembelian online menjadi alarm serius.
Tanpa sistem validasi yang kuat, kepercayaan masyarakat terhadap institusi pendidikan dan para pemimpinnya bisa tergerus. Ijazah hanya menjadi bahwa tertawaan orang.
Apa yang harus dilakukan setelah memegang ijazah?
Ijazah adalah bukti kehebatanmu di masa masa lalu, setidaknya telah lulus sekolah dengan menghabiskan waktu sekian lama. Tetapi yang terpenting adalah apa yang bisa kamu lakukan hari ini—apa keahlianmu, apa yang membuatmu unik, dan apa yang ingin kamu kontribusikan kepada masyarakat.
Ijazah boleh kamu simpan rapat-rapat di lemari atau pajang sebagai hiasan. Dunia kini lebih menghargai karya. Entah itu tulisan, aplikasi, video, kampanye sosial, atau bisnis kecil, apapun kumpulkan bukti nyata kemampuanmu.
Dunia bergerak cepat dan terus berlari ke depan tanpa bisa mundur lagi. Jangan puas dengan gelar. Ikuti pelatihan, kursus daring, atau sertifikasi yang relevan.
Gelar memang bisa jadi pembuka pintu, tapi karakter dan kinerja yang akan membuatmu tetap di dalam ruangan. Dalam era banjir informasi, penting untuk menjaga integritas.
Gunakan ijazahmu bukan hanya untuk mencari keuntungan pribadi, tapi juga untuk memperbaiki lingkunganmu. Selembar ijazah, jika dipahami dengan bijak, adalah pengingat: bahwa kita pernah belajar, pernah berjuang.
Tapi dunia pasca-ijazah menuntut lebih dari sekadar pengetahuan teoritis. Ia menuntut ketekunan, empati, dan kemampuan bertindak nyata.
Jadi, jika hari ini kamu bertanya, "Aku sudah punya ijazah, lalu apa?" Jawabannya sederhana tapi menantang: Kini saatnya membuktikan bahwa kamu lebih dari sekadar lembar kertas itu.
| Editor | : | Editor Kontemporer |