Haruskah Kita Ciptakan Lawan Bersama
Dalam pergulatan eksistensi manusia, pertanyaan mendasar sering kali muncul, apakah kita memerlukan lawan untuk menegaskan keberadaan kita? Lawan, dalam pengertian filosofis, bukan sekadar musuh dalam bentuk fisik, melainkan simbol ketegangan yang memaksa kita untuk bergerak, berkembang, dan menemukan makna.
Lawan adalah cermin yang memantulkan kekuatan sekaligus kelemahan kita. Namun, apakah kita harus sengaja menciptakan lawan bersama demi memicu semangat perjuangan, atau justru belajar hidup tanpa bayang-bayang musuh?
Mari kita renungi melalui lensa sejarah dan peristiwa kekinian.
Di Indonesia, sosok Soeharto adalah paradoks sejarah. Bagi sebagian, ia adalah arsitek stabilitas, pembawa kemajuan ekonomi, dan simbol ketertiban.
Bagi yang lain, ia adalah tiran, penutup kebebasan, dan personifikasi ketidakadilan. Namun, di antara polaritas ini, satu hal tak terbantahkan, yaitu Soeharto menjadi "lawan bersama" yang memicu lahirnya pahlawan-pahlawan kecil di berbagai ranah.
Iwan Fals dengan Kantata Takwa-nya mengguncang Senayan pada 1990 melalui lagu-lagu seperti Bento dan Bongkar, yang dianggap sebagian sebagai sindiran tajam terhadap Soeharto.
Sri Bintang Pamungkas dan Amien Rais, dengan suara lantang mereka, menantang rezim Orde Baru. Petisi 50, yang ditandatangani oleh tokoh-tokoh berani, menjadi simbol perlawanan intelektual.
Dan, tentu saja, mahasiswa reformasi 1998, yang dengan gagah berani menggulingkan kekuasaan Soeharto, menjadi legenda perjuangan rakyat.
Soeharto, secara sadar atau tidak, menjadi katalis bagi keberanian ini. Lawan bersama menciptakan ruang bagi mereka untuk bersinar, untuk dikenang sebagai pahlawan dalam konteks mereka masing-masing. Namun, apa yang terjadi setelah Soeharto runtuh?
Iwan Fals beralih ke lagu-lagu cinta yang membuai, kehilangan nyala perlawanan yang dulu membakar. Sri Bintang dan Amien Rais, yang dulu vokal, kini seolah meredup, hanya sesekali mengomentari dinamika politik tanpa greget perjuangan.
Mahasiswa, yang dulu menjadi garda terdepan, kini kembali ke kampus, tenggelam dalam rutinitas akademik atau asmara, tanpa isu besar yang menyatukan mereka.
Apakah ini berarti kita memang memerlukan lawan untuk tetap hidup dalam semangat perjuangan?
Pada 2025, Indonesia menghadapi tantangan baru yang tak kalah kompleks. Korupsi tetap merajalela, meski wujudnya kini lebih terselubung. Kasus-kasus seperti skandal korupsi e-KTP yang masih bergema hingga kini, atau dugaan penyalahgunaan dana bansos selama pandemi, menjadi bukti bahwa ketidakadilan sistemik masih ada.
Di ranah global, ketegangan geopolitik, seperti konflik di Laut China Selatan, Perang Rusia-Ukraina, Perang Israel-Iran atau krisis iklim yang memengaruhi petani dan nelayan Indonesia, menambah lapisan kompleksitas. Namun, mengapa suara perlawanan seolah meredup?
Salah satu penyebabnya adalah absennya "lawan bersama" yang jelas. Di era Soeharto, musuh itu nyata, yakni satu sosok, satu rezim.
Kini, musuh kita adalah entitas yang lebih abstrak—korupsi, ketimpangan ekonomi, perubahan iklim. Entitas-entitas ini sulit dipersonifikasi, sehingga sulit pula dijadikan sasaran perlawanan kolektif.
Di media sosial, seperti X, kita melihat gelombang kritik terhadap pemerintah, tetapi sering kali bersifat sporadis, personal, atau terpecah oleh polarisasi politik.
Pada Oktober 2024, misalnya, tagar #TolakOmnibusLaw kembali trending di X setelah revisi UU Cipta Kerja dianggap merugikan buruh, tetapi aksi di jalan tak sebesar gelombang protes 2020. Mahasiswa dan aktivis tampak kehilangan momentum untuk menyatukan suara.
Antara kompetisi dan makna
Dari sudut pandang filosofis, lawan adalah bagian dari dialektika eksistensi. Hegel mengajarkan bahwa perkembangan terjadi melalui konflik antara tesis dan antitesis, yang melahirkan sintesis baru.
Dalam konteks sosial, lawan—baik dalam wujud manusia, kebijakan, atau ide—mendorong kita untuk melampaui kenyamanan, menciptakan seni, puisi, atau perjuangan yang bermakna. Tanpa lawan, kita cenderung tenggelam dalam stagnasi, seperti yang digambarkan Nietzsche sebagai "manusia terakhir" yang hidup tanpa gairah.
Namun, menciptakan lawan bukan berarti memusuhi seseorang secara personal. Presiden Joko Widodo, misalnya, bukanlah musuh yang pantas dipersonifikasi.
Sebaliknya, kebijakan-kebijakan yang dianggap tidak prorakyat— seperti proyek IKN (Ibu Kota Nusantara), yang memakan anggaran triliunan di tengah kemiskinan rakyat—bisa dijadikan "lawan bersama" dalam imajinasi kolektif.
Korupsi, yang menurut laporan Transparency International masih menempatkan Indonesia di peringkat 110 dari 180 negara pada 2024, adalah musuh yang lebih layak untuk dilawan.
Pertanyaan terakhir, haruskah kita menciptakan lawan bersama? Jawabannya bergantung pada bagaimana kita mendefinisikan "lawan".
Jika lawan adalah simbol ketidakadilan yang memicu kita untuk bergerak, maka ya, kita memerlukannya. Tetapi, lawan ini tidak harus berwujud manusia. Ia bisa berupa sistem, kebijakan, atau bahkan ketidakpedulian kita sendiri.
Iwan Fals mungkin tak lagi menyanyikan Bento, tetapi musisi muda bisa mengisi kekosongan itu dengan lirik yang menyentil isu-isu kekinian.
Mahasiswa, yang kini lebih aktif di dunia digital, bisa memanfaatkan platform seperti X untuk menggalang narasi perlawanan terhadap ketimpangan sosial atau krisis iklim.
Sejarah mengajarkan bahwa peradaban maju melalui kompetisi dan perjuangan. Tanpa lawan, seni perlawanan meredup, suara keadilan melemah, dan kita kehilangan arah.
Maka, ciptakanlah lawan dalam pikiran kita—bukan untuk memecah, tetapi untuk menyatukan. Lawan itu adalah ketidakadilan, keserakahan, dan apati. Dengan begitu, kita bukan hanya bertahan, tetapi hidup dengan makna.
| Editor | : | Editor Kontemporer |