Misteri di Balik Senyum Koruptor di Televisi
Senyum, dalam budaya Indonesia, adalah cerminan jiwa yang ramah, tanda keramahtamahan, dan simbol kepuasan batin. Sejak lama, bangsa ini dikenal sebagai masyarakat yang mudah tersenyum, menjadikan senyum sebagai jembatan komunikasi yang universal, melintasi batas-batas budaya dan bahasa.
Namun, ketika senyum itu muncul di wajah para tersangka korupsi di layar televisi, sering kali kita dibuat bertanya, apa sebenarnya makna di balik lengkung bibir itu? Apakah senyum itu tanda keberanian, kepura-puraan, atau justru kegelisahan yang tersembunyi?
Jean-Paul Sartre dalam karyanya Being and Nothingness, pernah berbicara tentang "ketidakjujuran pada diri sendiri" (mauvaise foi).
Dalam konteks ini, senyum para tersangka koruptor bisa dilihat sebagai upaya untuk menyembunyikan kebenaran batin mereka, baik dari dunia luar maupun dari diri mereka sendiri.
Sartre mengajarkan bahwa manusia sering kali memilih untuk berlindung di balik topeng demi menjaga citra atau menghindari kenyataan yang pahit.
Ketika seorang tersangka korupsi tersenyum di depan kamera, mengenakan jaket oranye KPK yang konon melambangkan kesucian dalam mitos budaya Indonesia, mungkinkah senyum itu adalah topeng?
Angus Trumble, dalam bukunya A Brief History of the Smile, menjelaskan bahwa senyum tidak selalu mencerminkan kebahagiaan atau kepuasan.
Dalam banyak budaya, senyum bisa menjadi ekspresi yang kompleks, menyampaikan pesan mulai dari keramahan hingga penyamaran emosi sejati.
Dalam kasus para tersangka koruptor, senyum mereka mungkin bukan cerminan kegembiraan, melainkan usaha untuk memproyeksikan ketenangan atau bahkan kepercayaan diri di tengah tekanan hukum.
Trumble menegaskan bahwa senyum bisa menjadi alat untuk menyembunyikan kecemasan atau ketidakpastian, sebuah pandangan yang selaras dengan apa yang kita saksikan di layar televisi.
Armindo Freitas-Magalhães, yang dikenal atas studinya tentang ekspresi wajah, berpendapat bahwa senyum adalah cermin emosi individual sekaligus komunal.
Dalam konteks budaya Asia, termasuk Indonesia, senyum sering kali bukan hanya ekspresi kebahagiaan, tetapi juga bisa menandakan rasa malu, penghormatan, atau bahkan kebingungan.
Bagi para tersangka koruptor, senyum mereka di depan kamera mungkin adalah perpaduan dari kebiasaan budaya dan strategi psikologis.
Mereka mungkin ingin menunjukkan kepada publik—dan mungkin juga kepada diri mereka sendiri—bahwa mereka tetap terkendali, tak tergoyahkan oleh tuduhan yang menimpa.
Friedrich Nietzsche, dalam Thus Spoke Zarathustra, berbicara tentang "topeng" yang manusia kenakan untuk menghadapi dunia.
Senyum para tersangka koruptor bisa dilihat sebagai topeng semacam itu, sebuah cara untuk menegaskan kekuatan atau superioritas, mirip seperti seringai hewan dalam alam liar yang menunjukkan dominasi.
Namun, berbeda dengan seringai yang agresif, senyum mereka tampak manis, seolah-olah mereka tidak memiliki beban hukum yang mengikat.
Ini bukan tentang menghadapi musuh, tetapi tentang mengelola persepsi publik di tengah sorotan kamera.
Mungkinkah senyum mereka adalah bagian dari narasi yang mereka ciptakan—pesan kepada keluarga, kerabat, atau bahkan masyarakat luas bahwa mereka masih memiliki kendali, bahwa mereka yakin bisa "menyelesaikan" masalah ini, mungkin dengan bantuan pengacara terbaik atau koneksi politik?
Namun, seperti yang dikatakan psikolog Paul Ekman, pelopor studi tentang mikroekspresi wajah, senyum bisa jadi ekspresi yang disengaja untuk menutupi emosi sejati.
Di balik senyum yang tampak tenang, mungkin ada kegalauan, ketakutan, atau bahkan rasa malu yang tersembunyi. Dalam ruang pemeriksaan KPK yang berpendingin udara, keringat mungkin mengucur di dahi mereka, tetapi di depan kamera, senyum menjadi perisai untuk menjaga martabat.
Makna yang tak terucap
Senyum para tersangka koruptor bukanlah senyum kegilaan atau ketidakwarasan, seperti yang mungkin diasumsikan oleh sebagian orang.
Mereka adalah individu yang secara jasmani dan rohani tampak sehat, dengan penampilan yang terjaga dan ambisi yang tak pernah surut. Namun, seperti yang diungkapkan Trumble tadi, senyum juga bisa menjadi alat penipuan halus.
Senyum mereka mungkin bukan sekadar ekspresi emosi, tetapi strategi untuk mengendalikan narasi, untuk menunjukkan kepada dunia bahwa mereka tidak gentar, meskipun hati mereka mungkin sedang bergolak.
Dalam filsafat Timur, khususnya dalam ajaran Zen, senyum kadang-kadang dipandang sebagai cerminan penerimaan terhadap realitas apa adanya. Namun, senyum para tersangka koruptor tampaknya jauh dari penerimaan semacam itu.
Ia lebih mirip dengan apa yang disebut oleh filsuf Tiongkok, Zhuangzi, sebagai "tindakan tanpa tindakan" (wuwei)—sebuah usaha untuk tampak alami dan tak terpengaruh, meskipun situasi menuntut sebaliknya.
Apa makna sejati di balik senyum para tersangka koruptor yang kita lihat di televisi? Apakah itu cerminan kepercayaan diri, topeng untuk menyembunyikan kegelisahan, atau sekadar kebiasaan budaya yang terbawa ke dalam sorotan publik?
Belum ada disiplin ilmu yang secara khusus mempelajari senyum dalam konteks ini, tetapi perpaduan antara psikologi, filsafat, dan antropologi budaya menawarkan petunjuk.
Senyum mereka adalah teka-teki, sebuah bahasa wajah yang mengundang kita untuk bertanya lebih dalam tentang sifat manusia, tentang kebenaran dan kepura-puraan, serta tentang bagaimana kita menghadapi dunia ketika sorotan cahaya menerpa.
Jika kamu memiliki pandangan tentang makna senyum ini, mungkin kita bisa bersama-sama merenungkannya. Untuk saat ini, saya hanya bisa menawarkan senyum sebagai tanggapan—senyum yang, seperti senyum mereka, mungkin juga tak membawa makna apa-apa, atau justru menyimpan rahasia yang lebih dalam.
| Editor | : | Editor Kontemporer |