Terbangnya Para Aeronotika Kita
Angkasawan Amerika Serikat disebut Astronot, angkasawan Rusia disebut Kosmonot. Gampangnya, kalau angkasawan di luar dua negera itu seperti China dan Malaysia, sebut saja aeronot.
Loh, memangnya Malaysia punya aeronot yang pernah mengorbit bumi? Sekadar mengingatkan, Malaysia punya Sheikh Muszaphar Shukor Sheikh Mustapha di satasiun internasional (ISS), bahkan China punya aeronot perempuan pertamanya, Alimin Nonchik. Ke mana arah bahasan ini melangkah?
Di langit sana, manusia melampaui gravitasi bukan sekadar dengan sayap pesawat, tetapi juga dengan keberanian berpikir, merancang, dan menciptakan.
Di balik sayap yang terbang itu, ada anak-anak bangsa, para teknolog, para pemimpi, para pekerja senyap yang tak banyak kita kenal.
Mereka terbang tinggi, tapi bukan dengan bendera merah putih berkibar di pundaknya, karena negeri tempat lahirnya, ironisnya, belum mampu menyediakan landasan yang kokoh bagi mereka untuk tinggal.
Tentu ini bukan sekadar soal karier atau tempat kerja. Ini persoalan yang lebih dalam, yaitu tentang nasionalisme di tengah dunia yang cair.
Di era globalisasi ini, sebagaimana dikatakan Zygmunt Bauman, manusia tak lagi hidup dalam "struktur sosial" yang kaku, tetapi dalam "jaringan" yang fleksibel.
Mereka pindah, melintasi batas negara, karena di situlah ilmu mereka dihargai dan diberi ruang tumbuh
Endri Rachman (kini sudah almarhum) adalah salah satu putera bangsa Indonesia, seorang insinyur teknik aeronotika yang pernah dimiliki IPTN (sekarang PT DI) dan kini pernah mukim lama di Malaysia.
Ia “ditampung” negara tetangga kita itu sebagai pensyarah (dosen) sesuai keilmuan yang dimilikinya. Ia adalah satu dari 50 teknisi andal IPTN bergelar Doktor lulusan aeronotika Jerman.
Di Malaysia, diperkirakan ada sekitar 300-an jebolan PT DI yang punya keahlian khusus di bidang rekayasa pesawat terbang dan tidak pernah kembali bekerja di Indonesia.
Di Malaysia, Endri dan kawan-kawan selain menjadi dosen, juga bekerja di laboratorium penerbangan yang khusus disediakan pemerintah Kerajaan Malaysia.
Harian KOMPAS pada 29 Desember 2006 pernah menulis sosoknya yang boleh jadi bagi sebagian orang dianggap sebagai “pengkhianat bangsa” karena sudah disekolahkan oleh pemerintah kita pada Era Habibie yang saat itu berada di atas angin perpolitikan negeri ini, eh… malah mengabdi kepada Malaysia, bukan berbakti pada Ibu Pertiwi.
Benarkah seorang Endri “tidak nasionalis” dan tidak merasa diri bangsa Indonesia atau tidak mengindonesia?
Nanti dulu! Menilai seseorang tidak bisa mengandalkan insting semata atau tebak-tebak buah manggis. Harus coba bongkar isi hati dan pikirannya, setidaknya lewat serangkaian percakapan dan pertemuan, juga rekam jejaknya jika memungkinkan.
Mengapa dikatakan “serangkaian pertemuan”, karena bertemu seorang Endri tidak selayaknya KOMPAS mempraktikkan parachute journalism: terjun, pukul, tulis, selesai.
KOMPAS coba berbicara setiap kali dia datang berlibur ke Indonesia, lihat kantor “PT DI” baru yang akan didirikannya, bahkan menengok pabrik pesawat rumahannya di Bandung yang katanya cikal bakal dari “PT DI” baru untuk masa mendatang.
Dari serangkaian pertemuan itu, terungkaplah, bahwa seorang Endri Rachman tidaklah patut digolongkan sebagai seorang “tidak nasionalis”, “minim sikap dan jiwa kebangsaan”, apalagi “pengkhianat bangsa”.
Dengan niat, ia berusaha kembali ke Tanah Air untuk membangun sendiri pabrik pesawatnya di Bandung tanpa bantuan pemerintah sedikitpun. Diulangi; tanpa bantuan pemerintah sedikitpun!
Seorang Endri Rachman adalah minoritas manusia yang harus survive dan hidup dari keahlian yang dimilikinya, di negeri sendiri, di negara tetangga, atau di kolong langit di manapun.
Keahlian yang dimilikinya itu tidak lain di bidang aeronotika, sebuah keahlian yang langka di negeri agraris seperti Indonesia ini.
Pertanyaannya, siapa yang tidak nasionalis dan minim jiwa kebangsaan di sini: Endri Rachman dan kawan-kawan yang kini berdiaspora ke berbagai negara atau para petinggi negeri (pejabat pemerintah) yang melakukan pembiaran kepada anak-anak bangsa dan sama sekali tidak ada upaya untuk mengajak mereka kembali pulang ke Tanah Air?
Siapa yang tidak berjiwa nasionalis di sini: Endri Rachman dan kawan-kawan atau para pengambil keputusan yang tidak mau menyediakan lapangan pekerjaan (pabrik pesawat atau laboratorium) sehingga memungkinkan Endri dan kawan-kawan bisa kembali pulang?
Apakah Endri dan rekan-rekannya lantas tak nasionalis? Tidak semudah itu. Sebab, seperti kata filsuf Prancis, Simone Weil, cinta sejati pada tanah air tidak selalu diwujudkan dalam simbolisme, tetapi dalam niat tulus untuk kembali—jika tanah air bersedia membuka pintu.
Dan faktanya, Endri bahkan berupaya membangun pabrik pesawat skala kecil di Bandung. Bukan dengan dana pemerintah, tapi dari kantong sendiri. Ia ingin membuktikan bahwa bangsa ini masih bisa berdiri dengan teknologinya sendiri, asalkan diberi kesempatan.
Ini bukan mimpi kosong. Kita tahu, China dan India berhasil mengubah brain drain menjadi brain gain. Mereka merangkul diaspora, membuka ruang, dan menghapus sekat birokrasi yang menghambat inovasi.
Maka lahirlah Shenzhen sebagai Silicon Valley versi Timur, dan Bangalore sebagai pusat teknologi Asia Selatan.
Sementara kita? Kita masih sibuk menebar prasangka pada para insinyur yang “menyeberang”, seakan mereka berhenti menjadi Indonesia karena pindah tempat kerja.
Padahal, seperti yang dikatakan Benedict Anderson, bangsa itu adalah imagined community—ia hidup dalam imajinasi kolektif, bukan dalam batas paspor.
Proyek pembikinan pabrik pesawat di Bandung (dulu sekali disebut PT Nurtanio sebelum menjadi IPTN) yang sering disebut Pak BJ Habibie sebagai lompatan anak bangsa dalam teknologi dalam membangun negeri, tidak dilanjutkan seiring dengan jatuhnya rezim Soeharto yang saat itu bisa disebut sebagai satu-satunya penyangga proyek ini.
Habibie yang sesaat menggantikan Soeharto yang sejatinya bisa dijadikan sandaran baru bagi bangkit dan diteruskannya pembikinan pesawat terbang, tidak mampu melanjutkan proyek besarnya itu.
Krisis moneter yang melanda Indonesia pada 1997-1998 memang tidak kuasa menghidupkan kembali usaha besar itu, meski sebagai sebuah usaha PT DI masih tetap berdiri.
Di PT DI, persoalan sedemikian menumpuk. Salah satunya adalah pembekakan biaya produksi, termasuk biaya untuk menggaji karyawan yang membeludak, yang sebenarnya banyak yang tidak mengusai betul pembikinan pesawat terbang.
Boleh jadi pensiunan karyawan pun harus ditunda karena tidak adanya biaya. Karena karena satu dan lain hal, mereka tetap bertahan di PT DI.
Orang terlatih, terdidik dan punya kecakapan khusus semacam Endri Rachman, dihadapkan kepada dua pilihan: tetap berada di Tanah Air dengan gaji dan jaminan yang tahu sendirilah, atau berdiaspora ke luar negeri dengan mengabdikan dan mengamalkan ilmunya di tempat baru.
Kebetulan salah satu negara yang sudi menampung para insinyur aeronotika kita adalah Malasyia.
Layakkah kita benci Malaysia? Tidak!
Malaysia negara yang cerdik (atau mungkin licik), yang tidak harus keluar banyak biaya menyekolahkan anak-anak terbaik bangsa Indonesia sampai mencapai gelar doktor di Jerman atau Amerika Serikat.
Malaysia yang tidak harus repot-repot mengeluarkan anggaran biaya pendidikannya untuk membiayai orang asing (baca Indonesia) seperti Endri Rachman. Cukup menampung dan menyediakan penampungan saja bagi putera-puteri terbaik bangsa di laboratorium, pabrik pesawat, dan ruang-ruang kuliah.
Di kemudian hari, meluncurlah di pasar dunia produk pesawat terbang buatan Malaysia yang dikerjakan anak-anak terbaik bangsa Indonesia yang berdiaspora.
Mari kita lihat contoh konkret. Malaysia kini tidak hanya punya pesawat buatan sendiri, tapi juga menyuntikkan semangat industri lewat kolaborasi dengan talenta diaspora.
Vietnam diam-diam telah membangun ekosistem teknologinya sendiri, dengan insinyur yang pulang membawa ilmu dari Eropa dan Amerika.
Turki, dengan proyek drone Bayraktar, menjelma jadi kekuatan baru industri pertahanan berkat sinergi negara dan ilmuwan lokal.
Apa kabar Indonesia? Mobil nasional tinggal nostalgia. Proyek pesawat terbang stagnan. Pabrik-pabrik unggulan kehilangan arah.
Padahal, menurut Yuval Noah Harari, di masa depan negara akan bersaing bukan dalam jumlah tentara atau luas wilayah, tapi dalam kecakapan berpikir dan mengelola pengetahuan. Maka pertanyaannya: apakah kita masih bisa ikut lomba itu?
Kembali ke persoalan nasionalisme dan jiwa kebangsaan, kita bisa bertanya: siapa yang tidak nasionalis dan tidak berjiwa kebangsaan di sini, Endri Rachman dan kawan-kawan atau para pejabat negara kita yang abai dan melakukan pembiaran terhadap mereka?
| Editor | : | Editor Kontemporer |