News

Berpikir Minoritas, Jalan Sunyi Menuju Ketangguhan Suatu Ras

Penulis - Staff | 9 September 2025
Gagasan ini muncul bukan dari ruang kuliah atau buku-buku tebal, melainkan dari sebuah percakapan ringan di warung pinggir jalan.

Pernahkah berdiri di sudut paling sempit dalam sebuah ruangan penuh orang, lalu bertanya dalam hati: bagaimana caranya bertahan di sini?

Itulah inti dari berpikir minoritas.

Bukan sekadar merasa kecil di tengah yang besar, melainkan membentuk pola pikir dan cara hidup yang sadar bahwa keberhasilan tidak lahir dari rasa nyaman.

Gagasan ini muncul bukan dari ruang kuliah atau buku-buku tebal, melainkan dari sebuah percakapan ringan di warung pinggir jalan.

Di tengah teriknya matahari dan aroma telur bebek goreng yang mengepul, seorang kawan bernama Bestian Nainggolan melontarkan kalimat yang mengguncang:

“Sekali-kali, cobalah berpikir minoritas.”

Kalimat sederhana itu bergaung lama, membuka pintu untuk melihat dunia dari perspektif berbeda.

Jejak sejarah minoritas
Friedrich Nietzsche menulis bahwa manusia unggul (Übermensch) lahir bukan dari kerumunan, melainkan dari kesunyian dan perjuangan di pinggiran.

Dalam dunia yang ramai oleh mayoritas, justru mereka yang melawan aruslah yang sering membentuk sejarah.

Contoh paling jelas tampak pada bangsa Yahudi. Meski hanya sekitar 0,2% dari populasi dunia, mereka menyumbang lebih dari 20% penerima Nobel.

Mengapa? Karena sejarah panjang keterasingan mengajarkan mereka cara bertahan. Mereka dipaksa bekerja lebih keras, berpikir lebih taktis, dan menumbuhkan solidaritas dalam tekanan.

Hal serupa terlihat pada diaspora Tionghoa di Asia Tenggara, atau perantau India di Afrika Timur. Hidup sebagai pendatang, tanpa hak istimewa, mereka belajar satu hal mendasar: tidak ada yang bisa menyelamatkan selain diri sendiri.

Transmigrasi dan filosofi ketangguhan
Kisah yang sama hadir di Indonesia. Di Lampung, misalnya, transmigran dari Bali dan Jawa berhasil menciptakan basis ekonomi baru.

Mereka membuka lahan, membangun pasar, dan mengubah kampung tertinggal menjadi sentra pertanian. Semua berawal dari keterdesakan.

Sebagai pendatang, mereka tidak punya jaringan sosial yang luas. Tidak ada pilihan selain sukses atau kembali dengan tangan hampa.

Filosofi mereka sederhana: lebih rajin, lebih sigap, lebih tangguh daripada siapa pun di sekitar. Sebaliknya, sebagian masyarakat lokal terjebak pada kenyamanan. Bangun siang, bekerja sebentar, lalu berleha-leha.

Ketika pendatang melesat maju, kecemburuan muncul, kadang berubah menjadi konflik sosial.

Kegelisahan yang Menguatkan
“Berpikir minoritas” bukan hanya soal kompetisi, tapi juga kewaspadaan eksistensial. Albert Camus, lewat The Myth of Sisyphus, menulis bahwa kesadaran akan absurditas hidup justru melahirkan keberanian untuk terus mendorong batu ke puncak.

Bertahan bukan karena pasti menang, tetapi karena tidak ada pilihan lain.

Dalam dunia kerja, banyak individu menemukan dirinya sebagai minoritas. Tidak ada “teman satu kampung”, tidak ada jejaring keluarga yang bisa membantu.

Dalam kondisi itu, reputasi menjadi satu-satunya tiket. Posisi tawar dibangun bukan lewat suara keras, melainkan lewat hasil kerja. Mereka belajar lebih cepat, lebih rapi, lebih dapat dipercaya. Bukan karena merasa lebih hebat, tapi karena kegagalan bukanlah pilihan.

Dari individu ke bangsa
Pertanyaannya, bagaimana jika pola pikir ini diterapkan pada level bangsa?

Indonesia adalah negara besar dari sisi wilayah dan jumlah penduduk. Namun di mata dunia, posisi tawarnya belum kokoh. Bukan negara adidaya. Bukan penentu tren teknologi. Bukan pengguncang pasar global.

Dalam percaturan internasional, Indonesia justru minoritas dari segi pengaruh.

Lalu, mengapa masih berpikir seperti mayoritas? Mengapa malas berinovasi, membiarkan generasi muda tumbuh hanya dari tontonan di TikTok dan YouTube? Mengapa lebih berharap diselamatkan negara atau orang kaya, ketimbang membangun kemandirian sejak dini?

Minoritas bukan lemah
Bayangkan seorang pelajar Indonesia yang menempuh studi di Eropa. Ia sadar bukan siapa-siapa di sana.

Karena itu, ia belajar lebih keras, lebih sopan, dan lebih siap menghadapi tantangan. Dari kesadaran itulah lahir resiliensi—daya tahan yang membuat seseorang tidak mudah menyerah.

Berpikir minoritas bukan berarti inferior. Sebaliknya, ini cara menumbuhkan superioritas dalam kualitas, bukan jumlah. Seperti kata Antonio Gramsci, “Pesimis dalam akal, tapi optimis dalam kehendak.”

Minoritas tahu logika tak selalu berpihak pada mereka. Namun, mereka tetap memilih bertahan. Barangkali Indonesia tidak perlu menaklukkan dunia lewat perang atau pengaruh.

Namun bangsa ini bisa menaklukkannya dengan daya juang yang lahir dari pola pikir minoritas: waspada, bekerja keras, dan sadar diri. Kalau tidak bisa menjadi yang terbesar, jadilah yang paling siap.

Karena sering kali, yang bertahan bukanlah yang terkuat, melainkan yang paling sadar bahwa ia sedang sendirian. Dan justru dalam kesunyian itulah, kekuatan dibangun.

Editor : Editor Kontemporer
Tags :
Editor Picks