Sulitnya Berkata Benar
Kebenaran itu cermin jiwa, semua orang tahu itu, namun cermin itu kerap berdebu. Dalam keriuhan dunia modern, berkata benar bukan sekadar tindakan, melainkan perjuangan melawan arus zaman yang kerap membenarkan dusta.
Seperti air yang mengalir di sela bebatuan, kebenaran mencari celah untuk hidup, namun sering terhenti oleh bendungan kepentingan.
Mengapa berkata benar begitu sulit? Mungkin, seperti yang pernah dikatakan seorang filsuf, “Kebenaran adalah anak dari keberanian moral.” Namun, di tengah hiruk-pikuk kehidupan kontemporer, keberanian itu kerap terkubur di bawah tumpukan pragmatisme.
Berkata benar adalah fondasi kebaikan, namun di dunia yang dipenuhi filter digital dan narasi manipulatif, kebenaran menjadi barang langka. Di lingkungan keluarga, kita sering tanpa sadar menabur benih dusta.
Seorang ibu, tengah asyik menikmati serial Netflix, mungkin meminta anaknya menjawab panggilan telepon dengan, “Bilang Ibu sedang keluar!” Anak yang polos mungkin menjawab, “Kata Ibu, Ibu sedang keluar!”—dan tiba-tiba, dusta kecil itu menjadi cermin memalukan dari kebiasaan kita sendiri.
Kebohongan kecil membuka pintu bagi kebohongan besar. Dusta kecil ini, meski tampak sepele, adalah benih yang mengajarkan anak-anak kita bahwa kebenaran bisa ditawar.
Di dunia maya, kebenaran bahkan lebih rapuh. Pada 2023, laporan dari Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) mencatat lebih dari 12.000 hoaks beredar di Indonesia, mulai dari misinformasi soal kesehatan hingga manipulasi politik jelang Pemilu 2024.
Media sosial, seperti X, menjadi ladang subur bagi narasi yang memutarbalikkan fakta. Seorang influencer mungkin memposting klaim bahwa “vaksin menyebabkan kemandulan,” meski studi ilmiah dari WHO membantahnya.
Dusta ini menyebar bagai api di rumput kering, memanfaatkan ketakutan kolektif. Di sini, kebenaran bukan hanya mahal, tetapi sering dikorbankan demi popularitas.
Dusta kerja dan kekuasaan
Di lingkungan kerja, dusta kerap menyamar sebagai “strategi.” Seorang karyawan mungkin menggelembungkan laporan pengeluaran proyek untuk mendapat keuntungan pribadi, sebuah praktik yang, menurut Transparency International, berkontribusi pada skor Indeks Persepsi Korupsi Indonesia yang stagnan di angka 34 dari 100 pada 2024.
“Kita lapor saja harga ini naik,” kata seorang pegawai kepada rekannya, seraya meminta nota ganda dari vendor. Sekali dusta tercipta, ia bagai bayang-bayang yang mengikuti, menuntun pada dusta-dusta berikutnya.
Padahal para filsuf pernah mengingatkan bahwa kekuasaan dan pengetahuan saling terjalin, tetapi ketika pengetahuan dipalsukan, kekuasaan menjadi alat penindasan.
Di kantor-kantor pemerintahan, laporan keuangan yang “disulap” demi “penghasilan tambahan” mencerminkan bagaimana dusta meracuni integritas.
Di panggung politik, kebenaran adalah korban utama. Politisi kerap menjanjikan “langit baru” dalam kampanye, namun pasca-pemilu, janji-janji itu menguap bagai embun.
Pada Pemilu 2024, misalnya, sejumlah kandidat di Indonesia dilaporkan oleh Bawaslu karena menyebarkan janji yang tidak realistis, seperti “bensin gratis” atau “internet tanpa batas,” tanpa rencana konkret.
Seperti yang pernah diungkapkan Hannah Arendt, filsuf politik, “Kebohongan yang diorganisir dengan baik dapat menghancurkan realitas itu sendiri.” Ketika politisi berkata tidak benar, kepercayaan rakyat terkikis, dan demokrasi menjadi panggung sandiwara.
Mengapa berkata benar terasa begitu berat? Mungkin karena, seperti kata Søren Kierkegaard, “Kebenaran selalu membawa penderitaan.”
Berkata benar menuntut kita menghadapi ketidaknyamanan seperti mengakui kesalahan, menolak keuntungan instan, atau menghadapi konsekuensi sosial. Di DPR, misalnya, seorang anggota dewan yang melaporkan praktik korupsi mungkin diasingkan oleh koleganya.
Di ruang sidang, saksi yang jujur bisa menghadapi ancaman. Pada 2023, kasus penganiayaan terhadap jurnalis di Sulawesi Selatan karena mengungkap korupsi lokal menjadi bukti bahwa kebenaran sering dibayar mahal.
Namun, susah bukan berarti mustahil. Berkata benar dimulai dari keberanian kecil di rumah. Ketika telepon berdering dan kita sedang asyik scrolling X, alih-alih meminta anak berkata, “Bapak tidak ada,” kita bisa mengangkat telepon dan berkata jujur, “Maaf, saya sedang sibuk, boleh hubungi nanti?”
Kejujuran ini, meski sederhana, adalah investasi moral. Seperti yang dikatakan filsuf Stoa, Marcus Aurelius, “Jika itu bukan benar, jangan katakan. Jika itu bukan tepat, jangan lakukan.” Kejujuran di rumah menciptakan riak kebaikan yang menyebar ke lingkungan kerja, masyarakat, hingga negara.
Menuju kebenaran yang membebaskan
Berkata benar bukanlah jalan menuju kekayaan instan, tetapi jalan menuju kebebasan batin. Melawan korupsi, misalnya, dimulai dari laporan yang jujur, meski hanya dihargai dengan “terima kasih.”
Pada 2022, seorang whistleblower di Kementerian Keuangan melaporkan penyimpangan anggaran, yang mengarah pada pengusutan kasus korupsi senilai miliaran rupiah.
Tindakan ini tidak membuatnya kaya, tetapi menyelamatkan keuangan negara dan mengembalikan secercah kepercayaan publik.
Bagi politisi, berkata benar mungkin berisiko kehilangan kursi kekuasaan, tetapi ia membangun warisan yang abadi. Bayangkan jika laporan keuangan partai politik di Indonesia diaudit secara transparan, seperti yang dianjurkan oleh KPK pada 2024, alih-alih dimanipulasi untuk kepentingan kampanye.
Kebenaran seperti ini mungkin tidak populer, tetapi ia adalah fondasi keadilan. Berkata benar adalah pemberontakan senyap. Ia menuntut kita menatap cermin jiwa, membersihkan debu kepalsuan, dan berjalan dengan kepala tegak.
| Editor | : | Editor Kontemporer |